Oleh: H. Sofyan Farid Lembah
Ombudsman Perwakilan Sulawesi Tengah bekerjasama dengan Majelis Wilayah (MW) KAHMI SULTENG dan IJTI Sulteng baru selesai gelar Bincang-Bincang Akhir Tahun soal Problematika Pelayanan Publik di Sulawesi Tengah pada 13/12/2021 lalu. Bincang Bincang ini menghadirkan selain Narasumber dari Anggota Pimpinan Ombudsman RI, Hery Susanto,SPi, MSi juga cerdik cendikia dari Universitas Tadulako Prof.Dr. Amar,ST, MT Wakil Rektor, Dr.Suparman/Ketua ISEI Sulteng dan Dr.M.Tavip, SH,MH serta Heri Susanto dan Mitha Meinansi dari IJTI Sulteng. Pentahelix? Ini adalah sebuah strategi untuk efektifkan Pencegahan dan Penyelesian Pengaduan Masyarakat yang diintrodusir Hery Susanto dalam menjawab tantangan eksistensi Ombudsman hadapi problematika pelayanan publik akan datang termasuk di Sulawesi Tengah. Gencarnya kritikan peserta diskusi terhadap kinerja Ombudsman Perwakilan Sulawesi Tengah juga termasuk kritik pedas Narasumber menjadikan bincang bincang ini menjadi menarik hingga berlangsung larut malam.
Bagi Ombudsman Perwakilan Sulawesi Tengah pendekatan Pentahelix yang lebih diartikan sebagai sebuah strategi kolaborasi yang harus dimainkan oleh Ombudsman dan ini sudah tidak terlalu asing dalam jalannya peran Ombudsman mendorong perbaikan kualitas pelayanan publik. Benar masih banyak masyarakatvyang belum puas atas kinerja yang ada misalkan dalam Pengawasan penanganan Bencana di Pembangunan HUNTARA dan HUNTAP serta pembayaran dana stimulan atas kerusakan bangunan masyarakat di 3 kabupaten,PASIGALA. Palu, Sigi dan Donggala.
Strategi Pentahelix menjadi penting untuk diterapkan dalam problematika pelayanan publik terlebih peran terbatas pada Magistrature of Influence. Strategi ini dalam praktek memudahkan dalam penyelesaian laporan masyarakat juga sangat efektif membangun kemitraan mengajak peran serta seluruh stakeholders baik media, kelompok masyarakat strategis, pemerintah, swasta dan BUMN/BUMD serta aparat penegak hukum juga akademisi. Dalam praktek bahkan Hery Susanto mengingatkan bahwa kelompok agamis sangat penting dilibatkan. Sebagai Kepala Perwakilan, saya sependapat dengan bapak Hery dan menambahkan bahwa pendekatan itu memang harus melibatkan tokoh agama agar kita tidak dituding non Pancasilais atau juga tidak bertuhan pada pemberian pelayanan publik. Perubahan perilaku agar tidak maladministrasi harus juga memakai pendekatan agama. Nilai nilai agamis adalah ruh dari pelayanan publik dimana kita semua kelak mempertanggungjawabkan karya kita. Olehnya wajar bila dalam mengembangkan Pentahelix ini perlu dikaji sebuah Fiqih maladministrasi. *