PALU- Kepala Desa Ambunu, dilaporkan, Ahmad, Ketua Badan Perwakilan Desa (BPD) Ambunu Periode 2020-2023, atas dugaan tindak pidana korupsi merugikan negara dan perekonomian negara dengan menjual lahan mangrove (hutan bakau) ke perusahaan PT. BTIIG seluas 30 hektar.
Dugaan adanya penjulaan lahan mangrove itu, kini dilaporkan ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulawesi Tengah (Sulteng), pada Senin 9 Oktober 2023.
Dalam laporannya, Ahmad menyebutkan, bahwa keberadaan hutan mangrove yang berlokasi di sepanjang pantai Desa Ambunu, tetap terjaga dengan baik sejak Desa Ambunu berdiri bahkan jauh sebelum desa Ambunu ada.
Karena itu, selama adanya Kepala Desa Ambunu pertama sampai kades ke 11, pohon mangrove tumbuh di sepanjang pesisir pantai terjaga dengan baik. Demikian juga biota laut dan hewan hewan sejenis monyet atau kera sangat terlindungi.
Masalah mulai muncul setelah pemilihan kepala Desa Ambunu ke 12, dengan terpilihnya Bapak Fadli sebagai Kades Ambunu Periode 2018 — 2023.
“Akhir tahun 2022, Kades Fadly, menerbitkan Surat Keterangan Tanah (SKT) untuk area lokasi tumbuhnya pohon mangrove,” tulisnya dalam laporan yang ditujukan ke Kejati Sulteng.
Disebutkan, SKT diberikan kepada sejumlah keluarga dekatnya, bahkan ikut diberikan kepada istri dan anaknya sendiri. Ada 10 orang warga yang diberikan SKT, untuk sekitar 30-an hektar lahan mangrove tersebut.
Seiring masuknya perusahaan tambang PT. BTIIG di tahun 2021, dan diakhir tahun 2022, mulailah ada pengukuran. Peristiwanya diawal tahun 2023,terjadilah transaksi jual beli, yang Kemudian perusahaan mulai membabat hutan mangrove dengan menggunakan alat berat.
“Perusahaan membayar kepada 10 pemegang SKT Lahan Mangrove dengan harga Rp500 juta per hektar, tanpa melibatkan anggota BPD Ambunu,” sebut Ahmad.
“Sebagai Ketua BPD Ambunu, saya mencoba melakukan upaya pencegahan, setelah mendapatkan laporan bahwa Kades Ambunu, bersama warga telah menjual lahan kepada PT BTIIG,” katanya.
“Saya pun menggelar rapat tertutup dengan mengundang beberapa tokoh tokoh masyarakat Desa Ambunu, termasuk 10 warga yang dibuatkan SKT oleh Kades Fadly,” sambunganya.
Disebutkan, dalam rapat itu dia mempertanyakan status lahan mangrove yg sudah diterbitkan SKT oleh Kades Fadly dan diperjualbelikan kepada BTIIG.
Namun kata Ahmad, rapat tertutup tersebut tidak menghasilkan keputusan, karena 10 warga tetap ngotot dan bersikeras mengklaim sebagai pemilik lahan sepanjang pesisir pantai yang berisi lahan mangrove.
Berselang dua hari pasca rapat tertutup, Ketua BPD kembali mengundang warga menggelar rapat terbuka, dengan menghadirkan Kepala Desa bersama aparat desa. Semua anggota BPD dan masyarakat Desa Ambunu hadir dipertemuan terbuka.
Dalam rapat terbuka itu, anggota BPD mengusulkan bagaimana jika area lahan mangrove sekitar 30-an hektar yang akan dijual dengan atas nama 10 orang tersebut diambil alih penjualannya atas nama Desa Ambunu. Dengan Dua opsi hasil penjualan.
Opsinya pertama, kata Ahmad, hasil penjualan dibagi rata ke seluruh masyarakat Desa ambunu tanpa terkecuali. Obsi kedua, hasil penjualan 30 hektar lebih jika ditotal melebihi 15 miliar, akan dibangunkan gedung serbaguna Desa Ambunu.
“Namun kedua usulan anggota BPD tidak diterima, karena Fadly selaku Kades Ambunu tetap tidak menyetujui usulan BPD. Dengan alasan lahan mangrove sudah ada pemiliknya. Dengan sudah diterbitkan SKT kepada 10 orang tersebut,” jelasnya.
“Pastinya, pembayaran lahan mangrove yang diperjual belikan kepada PT BTIIG itu dilakukan pada tahun 2023 ini,” tutupnya. ***