Oleh : Saleh Awal
Sebuah group whatsapp (GWA) tiba-tiba saya dimasukkan di dalamnya. Namanya Club Penulis Sulteng. Pendirinya Senior saya, Nur Sangadji yg kita kenal tidak ada hari tanpa menulis dan ceramah. Tersisa tiga orang anggotanya, Nur Sangadji, Tasrif Siara dan saya.
Saya langsung merespon GWA itu dengan menulis sebuah essai. Judul awalnya “Inspirasi Menulis” tapi kemudian saya ubah seperti judul di atas karena beberapa penambahan ( update ) paragraf terakhir.
Sy biasanya terkagum kagum jika melihat buku tebal berjilid jilid yg ditulis hanya oleh satu orang. Lihatlah misalnya Quraish Shihab. Beliau menulis tafsir Almisbah sebanyak 15 jilid. Tiap jilidnya tebal-tebal Sebuah sumber memberitakan tidak kurang dari 10 ribu halaman jilid 1- 15. Jadi kalau dirata ratakan1 jilid terdiri lebih dari 1000 halaman.
Ini bukan sebuah buku biasa. Tapi buku tafsir Alquran. Taukan artinya tafsir? Tafsir itu adalah interpretasi yang tingkat kevalidannya sangat tinggi. Karena jika kevalidannya rendah maka namanya karangan fiksi. Apalagi yang ditafsirkan adalah Al-Quran. Penulisnya harus punya peralatan intelektual yang cukup misalnya penguasaan bahasa Arab, Nahwu, Sharaf, sejarah, sosiologi dan Antropologi Islam dan sebagainya. Betapa luasnya pengetahuan Quraish Shihab.
Lihat juga misalnya penulis Inggris, JK. Rowling.Dia mengarang Novel Harry Potter sebanyak 7 seri yang ketebalannya minta-minta ampun. Novelnya ini mencakup berbagai macam genre seperti fantasi, dan bildungsroman dengan unsur misteri, cerita seru, petualangan, dan roman.
Membaca Harry Potter kita akan dibuat seakan terlibat dalam perlawanan jago-jago sihir. Betapa hebatnya J.K Rowling dalam menata plot cerita. Betapa luas pengetahuan dan imajinasinya. Tidak heran J.K. Rowling ini merupakan salah satu penulis fiksi yang kaya raya karena bukunya itu laris manis di seluruh dunia bahkan kemudian dibuat film.
Untuk dua contoh yg saya sebutkan menulis membutuhkan keseriusan. Tidak bisa hanya sebagai sampingan.
Tapi ada contoh lain yang tidak serius – serius amat. Habibie yang merupakan Idola anak2 seluruh Indonesia jaman 80an itu , saat Ibu Ainun meninggal, diliputi kesedihan mendalam. Bahkan Habibie yang sangat cerdas dan rasional itu dijangkiti penyakit serius secara psikologis. Sering-sering dia berteriak sendiri saat tengah malam memanggil manggil nama istrinya Ibu Ainun.
Oleh Dokter, untuk menyembuhkan kesedihan Habibie, dia disuruh menulis. Menulis apa saja tentang Ibu Ainun. Maka jadilah buku berjudul Habibie dan Ainun. Jadi dorongan untuk menulis buku ini bukan karena kecanggihan pengetahuan sastra Habibie tapi karena hanya sebuah penyakit.
Ini sama juga kasus yang dialami oleh Ibu Omi saat sepeninggal suami tercinta Nurcholish Madjid atau Cak Nur. Ibu Omi menulis semua kenangannya bersama cendekiawan Islam dengan reputasi dunia itu. Jadilah buku “hidupku bersama Caknur”.
Dua contoh terakhir ini mengajarkan bahwa menulis itu mudah. Dalam keadaan sakit pun kita bisa jadi penulis.
Dahlan Iskan juga membuktikannya. Saat dia dijangkiti penyakit Hati dia malah berhasil menulis buku ” Ganti Hati” yang kemudian sangat laris. Bahkan dia menulis saat dia menghadapi pisau operasi.
Jadi menulis itu adalah pekerjaan serius dan gampang. Yang jelas dimana pun dan apapun bisa jadi inspirasi untuk membuat sebuah tulisan. Hanya saja menulis membutuhkan keuletan dan konsistensi. Bagi saya inilah yang sangat sulit. Inspirasi selalu ada, tapi tdk selalu bisa ditulis karena ketidakberdayaan melawan malas hehehe.
Namun apa yg membuat saya kembali ke jalan yang benar , ehh..maksudnya kembali punya dorongan menulis. Sebabnya adalah menulis membuat saya lebih merasa muda sehingga selalu ingin tampil dengan ekspresi kemudaan di usia yang sudah lewat setengah abad.
Jika kita menyanyi orang bisa tebak usia , masih muda atau sudah tua melalui suara penyanyinya. Tapi sebuah tulisan , penulisnya tdk bisa ditebak apakah dia tua atau masih muda.
Bahkan jika anda ingin hidup abadi, maka menulislah. Plato yg meninggal 347- 348 sebelum Masehi, tulisannya masih bisa kita baca sampai saat ini. Ini artinya secara subtansi ide dia masih hidup. Padahal tulisannya itu media penyimpannya tdk secanggih saat ini.
Karena itu sampai dengan berapa abad pun di masa mendatang, apalagi tulisan kita disimpan di cloud kita pasti masih “hidup” jika orang membaca tulisan kita pada suatu masa yg jauh. **