Palu, trustsulteng – Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulawesi Tengah (Sulteng) didampingi Zullikar Tanjung, SH. MH, Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah kembali memimpin ekspose Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Kali ini melalui Kejaksaan Negeri Donggala dengan Tersangka atas nama Didit Alias didi melanggar pasal 362 KUHPidana. Selanjutnya tersangka atas nama Saiful Rizal Alias Ipul melanggar Pasal 480 Ke-1 KUHPidana dan tesangka atas nama Herman bin Ladama melanggar Pasal 480 Ke-1 KUHPidana dengan saksi korban atas nama Rini Darmastuti.
Ekspose dilakukan secara virtual dipimpin oleh Direktur Oharda serta jajaran pada Jaksa Agung Pidana Umum Kejaksaan Agung RI. Sementara Kejati Sulteng diikuti oleh Aspidum Kejati Sulteng Fithrah, SH, MH, Agus, SH.MH Kasi Oharda, Laode Abdul Sofian, SH.MH Kasi Penkum, Kajari Donggala, Kasi Pidum dan Jaksa Fasilitator bersama jajaran.
Kejadian kasus ini berawal trrsangka Didit melihat pintu rumah korban Rini Darmastuti dengan pintu sedikit terbuka, Tersangka lalu masuk kedalam rumah korban dan mengambil satu buah handphone dan satu buah laptop. Tersangka menjual handphone tersebut kepada tersangka lain atas nama Herman serta menggadaikan Laptop curiannya kepada tersangka atas nama Saiful Rizal Alias Ipul.
Saat tersangka menjual dan menggadai barang tersebut kepada Herman dan Saiful Rizal Alias Ipul, mengatakan butuh uang untuk membeli makanan.
”Ketiga perkara tersebut saling terkait, dimana pelaku pencurian melakukan perbuatannya karena terhimpit oleh keadaan ekonomi keluarga dan semata-mata tujuannya supaya bisa membeli makanan untuk menghidupi keluarganya. Dilain sisi, pihak penadah juga didorong karena rasa empati pada kondisi pelaku dan tidak mengetahui sama sekali bahwa barang tersebut adalah hasil kejahatan. Sejalan dengan itu, ketulusan dan kebesaran hati dari pada korban yang memaafkan kesalahan pelaku adalah menjadi landasan utama perkara tersebut diusulkan untuk dihentikan penuntutannya. Sehingga hubungan kekeluargaan yang harmonis antara pelaku dan korban terjalin kembali,” sebut Kasi Penkum Laode Abdul Sofiyan.
Pertimbangan lain penghentian penuntutan 3 (tiga) perkara tersebut setelah para pihak, baik korban maupun tersangka, sepakat berdamai. Korban memaafkan pelaku dan sepakat tidak melanjutkan perkaranya ke persidangan. Serta pelaku baru pertama kali melakukan tindak pidana dan berjanji tidak akan mengulangi lagi perbuatannya.
Dengan dihentikannya penuntutan berdasarkan keadilan restoratif, maka penyelesaian perkara tidak lagi dilakukan melalui proses persidangan di pengadilan, tetapi, diselesaikan melalui perdamaian para pihak.
Penghentian penuntutan perkara berdasarkan keadilan restoratif ini merupakan tindak lanjut program Jaksa Agung, di mana untuk mewujudkan keadilan subtansi dalam penyelesaian sebuah perkara tindak pidan tidak harus melalui proses peradilan atau persidangan di pengadilan;
Seluruh syarat penghentian penuntutan perkara yang juga terpenuhi, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 5 Peraturan Kejaksaan RI nomor 15 tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif dan SE Jampidum nomor 01/E/EJP/02/2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. Atas dasar itu Jaksa Agung Muda Pidana Umum menyetujui agar perkara tersebut dihentikan penuntutannya berdasarkan keadilan restoratif. **
sumber penkum kejati