Oleh: Salihudin
Dari perspektif manakah Palu atau Sulawesi Tengah menarik bagi hampir semua orang? Pertanyaan ini menarik bagi saya untuk memulai gagasan Palu sebagai tempat Munas XI KAHMI.
Ditinjau dari perspektif ekonomi, kota ini belum menjadi titik tumbuh perekonomian skala besar di wilayah Sulawesi. Dari segi politik, juga belum banyak melahirkan figur-figur yang dikenal secara nasional. Demikian juga secara kebudayaan. Palu sebagai kota budaya belum seterkenal Jogya di Jawa atau tetangga Makassar.
Justru yang menarik bagi Palu dan Sulawesi Tengah adalah, pertama; konflik yang terjadi di Poso mulai tahun 1999 – 2002. Kajian tentang konflik di Sulawesi Tengah ini, banyak menghiasi jurnal-jurnal dan beberapa buku.
Residu bagi konflik itu sekarang masih terasa. Walaupun secara fisik sudah nyaris tanpa bekas tapi ini masih menyisakan trauma yang mendalam di bawah alam sadar masyarakat Sulawesi Tengah. Contohnya, orang beli tanah pada daerah bekas konflik masih menjadi pertimbangan serius. Hal ini karena efek psikologis trauma yang menimbulkan perasaan ragu dan takut akibat konflik masa lalu. Karena itu perlu detraumatisasi. Korbannya tidak mengenal agama, usia, golongan karena semua yang terlibat konflik menderita secara kemanusiaan.
Kedua; trio bencana alam yang terjadi pada 28 September 2018 silam, masih sangat membekas baik secara fisik maupun secara psikologis. Gempa bumi, tsunami dan likuefaksi benar-benar membawa Palu dan Sulawesi Tengah berada di titik paling rendah. Menurut BPS, pertumbuhan ekonomi Sulawesi Tengah sebelum konflik termasuk tertinggi yakni tahun 1996 mencapai 9,98 persen dan tahun tahun 2017 tumbuh 7,14 persen. Dibanding pasca bencana pertumbuhan ekonomi hanya mencapai 6,8 persen.
Bencana alam yang terjadi dikota Palu pada September lalu sangat berdampak pada segi ekonomi terutama dibagian kerugian dan kerusakan. Dampak kerugian dan kerusakan yang diakibatkan gempa, tsunami, dan likuifaksi di kota Palu mencapai Rp 18,48 Triliun dimana kerugian tersebut berasal dari dari sektor permukiman mencapai Rp 9,41 triliun, sektor infrastruktur Rp 1,05 triliun, sektor ekonomi Rp 4,22 triliun, sektor sosial Rp 3,37 triliun, dan lintas sektor mencapai 0,44 triliun (Sumber : BNPB Kota Palu). Secara rinci pada sebaran wilayah, kerugian dan kerusakan di Kota Palu mencapai Rp 8,3 triliun, Kabupaten Sigi Rp 6,9 triliun, Donggala Rp 2,7 triliun dan Parigi Moutong mencapai Rp 640 miliar (Sumber: BNPB Provinsi Sulawesi Tengah).
Kerugian yang sangat besar itu menimbulkan bencana selanjutnya. Misalnya di sektor permukiman, wilayah yang disapu tsunami sepanjang Pantai Talise sampai kecamatan Tawaeli dan pesisir Donggala permukiman warga hampir semuanya hilang dan rusak.
Tidak heran kerugian pada sektor ekonomi sangat besar terutama yang mengalami kontraksi seperti Jasa keuangan dan asuransi sebesar 8,39 persen, akomodasi dan makan minum kontraksi sebesar 4,65 persen dan dan sektor pengadaan listrik dan gas sebesar 3,47 persen.
Kerugian yang paling besar tentu saja korban manusia. Data resmi Pemerintah daerah jumlah korban meninggal mencapai 4.340 jiwa. Selain itu masih ada 600 lebih korban yang belum ditemukan.
Pasca bencana masih menyisakan masalah yang besar terutama pembangunan kembali permukiman warga. Meskipun sampai saat ini sudah ribuan hunian tetap yang terbangun tapi sampai september 2021 masih ada 3.240 hunian tetap yang menjadi hak penyintas belum dipenuhi. Wapres Dr. KH. Ma’ruf Amin dalam kunjungannya baru-baru ini di Sulawesi Tengah memerintahkan agar pembangunan hunian tetap dan permukiman warga harus dipercepat. Inilah penderitaan warga Sulawesi Tengah pasca bencana.
Selain itu fasilitas kota belum semua berhasil direhabilitasi. Hotel-hotel, jembatan Kuning yang menjadi icon kota, fasilitas pusat peribadatan seperti Mesjid Agung belum bisa dibangun kembali. Jalan – jalan di kota Palu belum seluruhnya dapat diperbaiki. Inilah kehancuran secara fisik dan psikis yang perlu perhatian pemerintah dan kita sebagai warga bangsa.
Secara psikologis juga masih trauma. Sebelum gempa berkekuatan Magnitude 7,4 itu, jika terjadi gempa, paling ketawa saja. Tidak ada ketakutan. Palu memang terbiasa merasakan gempa karena dilalui cesar (patahan) Palu Koro yang melalui Kota Palu sampai ke Utara Sulawesi. Setelah gempa, goyang sedikit pasti lari kocar kacir. Akibatnya, banyak penduduk Palu meninggalkan daerah ini kembali ke daerah asalnya. Tidak mau lagi ke Palu karena trauma.
Residu dari dua masalah ini sangat besar bagi Palu dan Sulawesi Tengah. Konflik Poso menyisakan terorisme dan trio bencana 28 September menghasilkan keterpurukan, penderitaan terutama terkait kesejahteraan. Beberapa kali pengerahan pasukan skala besar untuk menangkap teroris yang berlindung di hutan lebat di wilayah Poso belum sepenuhnya berhasil sampai hari ini. Disinyalir masih ada beberapa orang teroris belum ditangkap sehingga masih menjadi ancaman bagi warga. Apakah Palu dan Sulawesi Tengah tidak bisa bangkit? Jawaban atas pertanyaan ini tergambar pada semangat panitia melaksanakan Munas XI KAHMI yang akan berlangsung tahun ini. Jika Palu dipercayakan melaksanakan Munas, Insya Allah panitia akan bekerja secara serius, sungguh-sungguh dalam mempersiapkan acara dalam melayani peserta secara optimal. Palu tidak harus terus menangis. Palu dengan filosofi Tadulako yaang bermakna patriotik, kepahlawanan, pantang menyerah justru tidak ingin berada di belakang. Palu dan Sulawesi Tengah ingin menjadi “pemain” utama pada region ini. Dengan pengalaman konflik dan bencana, justru Sulawesi Tengah menjadi lebih kuat. Saat ini walaupun infrastruktur masih ada yang belum terbangun kembali, tapi justru ekonomi mulai tumbuh.
Lihatlah bagian lain dari Palu atau Sulawesi Tengah. Pandanglah ke kabupaten Morowali. Betapa seluruh Indonesia, bahkan pandangan global diarahkan ke sana. Ada harta karun energi masa depan. Semua orang tau, Morowali pusat nikel terbesar yang akan menjadi penentu mobilitas manusia. Namun yang kita saksikan, tidak banyak warga Bangsa termasuk KAHMI yang berperan sebagai penentu. Justru sebaliknya tenaga kerja asing yang mempunyai keahlian justru mendominasi. Di masa depan, ini tidak boleh terjadi. Bangsa Indonesia khususnya warga kahmi harus merebut peluang dan mengatasi tantangan itu. Untuk menjadi penentu masa depan itu, marilah ke Palu, karena Palu adalah episentrum dalam permainan global pada sektor energi masa depan.
Apakah KAHMI hanya berpangku tangan? Tentu tidak. HMI punya doktrin teologis, yaitu keesaan Tuhan. Sebagai manusia yang berfungsi sebagai khalifah punya tanggungjawab mewujudkan peran himpunan sebagai sumber insani pembangunan bangsa. Sesudah Keesaan Tuhan, ada doktrin kemanusiaan. Menurut Nurcholis Madjid doktrin kemanusiaan (humanisme) Kahmi bukan berasal dari filsafat material tapi memancar dari faham Ketuhanan yang Maha Esa (Tauhid).
Konsekuensi doktrin itu adalah keharusan warga KAHMI untuk berpihak dan membantu bagi manusia lain yang menderita, terpuruk dan tertindas. KAHMI sebagai organisasi intelektual tentu berpihak pada yang lemah, menderita dan tertindas yang menempuh jalan kebenaran. Inilah perwujudan intelektual organik (Gramsci) , yakni intelektual yang senantiasa berpihak pada kebenaran dan kemanusiaan.
Begitulah makna substantifnya jika Munas KAHMI dilaksanakan di Palu, Sulawesi Tengah.*
Penulis Anggota MW KAHMI Sulteng