Oleh: H. Sofyan Farid Lembah
Jelang Ramadhan ini saya teringat sebuah lagu lawas dari Iwan Fals, dan sayapun search di Youtube dan menemukan lagu tersebut. Judulnya Isi Rimba Tak Ada Tempat Berpijak Lagi. Baru pada bait pertama lagu ini diputar, liriknya sudah menghentak nalar, “Raung buldozer gemuruh pohon tumbang, Berpadu dengan jerit isi rimba raya, Tawa kelakar badut badut serakah, tanpa HPH berbuat semaunya…” Iwan Fals benar. Jauh di tahun 70an, dia sudah mengingatkan. Itu adalah rekaman bentuk kekecewaan masyarakat yang oleh beliau sebagai seniman dendang dibawakan dalam genre Country music. Lagu ini sangat membantu dalam menatap kisah disekitar kita sekarang ini. Hoax?
Kita semua tentu tahu, banyak Penambang Tanpa Ijin (PETI) beroperasi dimana mana. Kasus Dongi Dongi, Poboya, Lore Utara, Sausu, Kayu Boko, Buranga, Kasimbar dan lainnya. Bukan hanya PETI yang berijinpun sudah dibuka dimana mana. Bukan hanya tambang, perkebunan Sawit juga dimana mana di saentaro negeri. Apa masalahnya? Alih alih mendapatkan kesejahteraan atas pengelolaan sumber daya alam, pepesan kosong malah dinikmati masyarakat. Bahkan bencana alam kerap diterima. Iwan Fals sekali lagi benar, dia mengatakan, ” bencana erosi selalu datang menghampiri, tanah kering kerontang banjir datang itu pasti, isi rimba tidak dapat berpijak lagi, punah dengan sendirinya akibat rakus manusia…” Iya, kerakusan manusia sebabkan satu sama lain saling sikut sana sini. Terjadilah konflik pemanfaatan sumberdaya alam. 6 desa di Parigi Moutong menutup jalan dalam konflik hingga mengorbankan seorang pendemo tewas tertembak menjadi tumbal konflik. Kitapun belum lupa atas tewasnya penambang rakyat di Buranga, Dongi dongi dan Poboya dulu. Ayo mari kita merenung dan tafakur.
Pertambangan mineral harus diatur dengan bijak. Benar bahwa PT Trio Kencana sudah memiliki IUP, tapi aktivitas tambang yang ada sekarang itu tetap adalah PETI. Siapa yang bertanggungjawab atas dampak lingkungan termasuk tanggungjawab sosial atas konflik yang terjadi? Jelas jelas kami kecewa.
Satu hal yang perlu diingat, bahwa Tata Ruang adalah salah satu mekanisme dari pengendalian pemanfaatan ruang lewat mekanisme ijin. Bukan sebagai mekanisme sektor pendapatan. Kalau cara pandang pendapatan ini, itu namanya Tata Uang bukan Tata Ruang. Rencana Tata Ruang Wilayah kita dijadikan mainan untuk lahirkan kebijakan perubahan. RTRW berubah sesuai kebijakan baru, hasilnya fungsi hutan penyangga lingkungan berubah fungsi dari Hutan Lindung menjadi Hutan Produksi lalu jadi hutan hutanan. Kita begitu mudahnya, membuat kebijakan tapi tidak punya pengetahuan bahkan terhadap kesiapan hadapi dampak perubahan kebijakan itu. Tahun 2012, RTRW Provinsi dan Kabupaten Parigi Moutong tidak menetapkan Kawasan Siney, Kasimbar hingga Tada sebagai kawasan pertambangan. Ini tidaklah aneh, karena perubahan kebijakan menjadi kebutuhan atas nama investasi. Semua mudah di atas kertas.
Pelestarian alam memang hanya celoteh belaka, tumbang oleh yang namanya nafsu keserakahan menguras isi alam atas nama investasi alias perut atau kebutuhan ekonomi. Entah siapa yang menikmatinya. Alhamdulillah, tak lama lagi bulan Ramadhan segera mendatangi kita. Saat tepat kita mengalahkan nafsu dan keserakahan itu. Nafsu kala diciptakan dulu biar 1000 tahun dibakar oleh panas api bahkan 1000 tahun didingginkan lagi dalam suhu paling ekstrim tidaklah mati. Ternyata lewat penghentian memberi makan nafsu itu barulah dia tunduk kepada Sang Pencipta dan Malaikat Jibril. Taklah heran, di bulan Ramadhan nanti kita kembali belajar menahan nafsu lewat berpuasa makan minum sejak Imsak dan Subuh hingga datangnya Maghrib. Pada saat berpuasa itulah kita lakukan ibadah lainnya termasuk menanggalkan hubungan making love bersama isteri sah. Semuanya itu adalah dalam rangka melawan dan menundukkan nafsu itu dengan berharap bisa menjadi hamba Allah yang Fitri di bulan Syawal, lahir suci kembali.
Semoga semangat Ramadhan itu masuk menjiwai kebijakan kebijakan pengelolaan sumberdaya alam yang arif dan bijaksana serta bermanfaat bagi Ummat. Selamat tinggal Komprador, MARHABBAN YAA RAMADHAN*