PALU- Gonjang ganjing tuduhan terjadinya praktek jual beli jabatan dalam pengisian jabatan di Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah telah mereda seiring bekerjanya Tim Investigasi bentukan Gubernur yang dilaksanakan Sekretaris Provinsi, Faisal Mang sebagai Ketua Tim.
Lebih sepuluh hari tim bekerja dan kita tidak tahu proses investigasi yang dilakukan tapi itu tidak menjadi permasalahan. Kita cukup maklum saja, dan terpenting adalah bagaimana hasil serta apa solusi yang disarankan kepada Gubernur untuk ditindak lanjuti.
Ombudsman menyarankan, Gubernur harus transparans memberi informasi duduk perkara serta apa yang hendak ditindaklanjuti Pemerintah Provinsi paska didapatkan hasil dari investigasi yang dilakukan.
Masyarakat berharap banyak bagaimana proses dan ending cerita gonjang ganjing tuduhan terjadinya dugaan maladministrasi praktek jual beli jabatan ini.
Ada 3 pendekatan yang mungkin dilaksanakan. Pertama pendekatan Struktural. Jika terbukti telah terjadi maladministrasi, maka Gub mudah ambil keputusan selain lakukan pembinaan atas pejabat yang terlibat, paling substansial adalah menghidupkan dan mengefektifkan peran BAPERJAKAT. Salah satu dampak dari sistem demokrasi yang berlaku adalah dikerdilkannya peran BAPERJAKAT ini.
Selera penguasa lebih dominan utamanya bila sang penguasa bukan berlatar belakang birokrat. Sudah seharusnya dan sebagai bahan pembelajaran analisis dan pengangkatan para pejabat dimasak utuh di BAPERJAKAT ini sebagai bahan pertimbangan penting. Gubernur penting mempertimbangkan analisis jabatan ini dalam pengambilan keputusannya. Kedua pertimbangan Substansi, dengan memajukan sistem pengawasan standard etika publik dari birokrasinya. Peran seorang Wakil Gubernur sangatlah penting bekerjasama dengan Inspektur dan Sekretaris Daerah lakukan pengawasan. Ini adalah Triumsviraat di pemerintah daerah yang mau tak mau mengembangkan sistem pengaduan baik internal maupun ekaternal.
Lemahnya pengawasan Inspektur menjadikan pejabat birokrasi lakukan kesewenangan berbentuk perilaku maladministrasi. Terjadinya pungutan atas jasa jual beli jabatan ini adalah bentuk lemahnya kontrol dan sekaligus lupa daratannya pejabat birokrasi atas kekuasaan yang dimiliki. Penegakkan Standard Etika Publik harus dimulai lewat koordinasi Triumsviraat itu. Mungkin ada benarnya pameo, “Power tends to corrupt”. Ini harus diakhiri.
Ketiga, pendekatan kultur birokrasi. Sudah waktunya Gubernur sebagai penguasa mendorong Merit Sistem dalam menjalankan pemerintahannya. Mereka yang disiplin, punya inovasi dan prestasi kerja serta kuat jalankan kepamongprajaannya diberi prioritas kembangkan karir. Sistem ini sangat mendorong pemerintahan yang efektif dan hilangkan frustasi birokrat. Ada pameo, “jika anda tidak masuk dalam fam dan clan penguasa maka pasti anda di luar kekuasaan istana”. Tak heran bila dalam praktek ada birokrat meroket karirnya bukan karena integritas, prestasi apalagi inovasinya. Tapi karena dia adalah bahagian dari keluarga penguasa. Masih muda dan belum lama menjadi ASN sudah menjadi Kepala Dinas membawahi banyak seniornya. Itu adalah cerita lama yang tak elok.
Satu hal lagi, pendekatan kultur ini mendorong birokrat untuk memahami bahwa menjadi pejabat harus didasarkan atas pendekatan merit sistem tadi bukan lewat sogokan uang dan proyek dan bentuk perilaku maladministrasi lainnya. Tidak berkah dan sangat menjijikan.
Saat ini kita menunggu hasil investigasi yang dipimpin birokrat senior Faisal Mang. Kepercayaan masyarakat terhadap jalannya pemerintahan provinsi sedang dipertaruhkan. Pemerintah Kabupaten-Kota juga sedang menunggu hasil ini. Bahkan Komisi Informasi Daerah juga tak sabar lagi, apalagi para jurnalis bahkan warga warung kopi di seluruh kabupaten/kota. Kecintaan mereka terhadap Bung Cudi membuat mereka berharap banyak. Terlebih disisi Bung Cudi ada Tenaga Ahli bung Andono yang siap memberi informasi lugas dan tuntas. Kami menunggu.**