Oleh: H. Sofyan Farid Lembah (Ketua Ombudsman Sulteng)
Dunia sepakbola Asia Tenggara kembali berguncang, dimana dalam turnamen Piala AFF diduga terjadi Match Fixing atau Sepak bola Gajah bin Main Sabun antara kesebelasan Vietnam versus Thailand yang pada akhirnya menyingkirkan Indonesia melangkah ke babak Semifinal. Fans Ultras Garuda mengamuk bahkan sempat menyegel venue Jagabarka Bekasi untuk tidak bisa gelar pertandingan. PSSI tayangkan protes ke AFF dan FIFA serta ancam keluar dari asosiasi. Itulah issue hangat dunia sepakbola.
Match fixing memang telah mengubur sportivitas olah raga. Menjadi pertanyaan, apakah ini bisa terjadi di penyelenggaraan pemerintahan di daerah? Jawabannya adalah bisa saja. Match fixing sejatinya adalah permainan kotor dan perilaku menyimpang mulai dari manajer, pelatih, pemain ,bahkan bisa melibatkan induk organisasi untuk mengatur hasil akhir sebuah pertandingan. Ada Skenario play the game disana dimana bandar judi sebagai pemegang kendali.Pertanyaan lanjut, apakah penyelenggaraan pemerintahan merupakan sebuah pertandingan? Siapa saja pemegang peran?
Dalam Hukum Administrasi Negara dikenal adanya perilaku Maladministrasi dan Korupsi. Pejabat Tata Usaha Negara (TUN) yang kerap terjerembab dalam perilaku tersebut. Sinyalemen power tends to corrupt atau kekuasaan cenderung bersalah guna sering dipertontonkan. Sikap tindak administrasi negara dalam wujud trifungsi, baik membuat peraturan perundang-undangan undangan, menjalankan pemerintahan dalam rangka mencapai tujuannya dan menjalankan fungsi peradilan sering berinovasi lewat adanya diskresi. Terhadap sikap tindak administrasi tersebut perlu diberikan perlindungan hukum, baik terhadap warga maupun terhadap administrasi negara karena adanya diskresi yang Ultra vires.
Pengaturan retribusi sampah, pengangkatan jabatan, mutasi hingga pemberhentian pejabat, reklamasi Teluk Palu, pembangunan Mall, rehabilitasi bangunan, jalan, jembatan, pengadaan barang dan jasa serta aneka kegiatan lain dalam program pembangunan adalah sebuah contoh saja dimana pejabat TUN bisa terpeleset lakukan pengabaian terhadap RPJMD dan aturan lainnya yang menjadi patokan. Diskresi yang ultra vires dilakukan, hukum dan moral dilupakan. Mabuk kepayang mengejar kesejahteraan pribadi dan kelompok dengan menumpuk kekayaan dan terus menambah kekuasaan seolah olah dunia milik sendiri dan dia akan hidup selamanya dalam dinasti kekuasaan. Perilaku melawan hukum, lalai, tidak menjalankan kewajiban, menjalankan kewenangan tidak sesuai dengan tujuan kewenangan yang diberikan, lakukan permintaan barang dan uang hingga tak malu malu lagi lakukan korupsi hingga berjamaah terus dipertontonkan.
Masyarakat yang diperintahnya mengeluh alami kerugian baik materil maupun immateril, ada staf yang terdzalimi. Keadilan lenyap dibumi dimana Sang Penguasa berpijak. Mungkin itulah Match Fixing dalam penyelenggaraan pemerintahan. Off side!!! Apa bedanya dengan dunia sepakbola? Bisa jadi dampaknya berbeda.
Meski sering rusuh pasca pertandingan, tapi itu tidak terlalu lama. Beda dengan Match Fixing dalam pemerintahan.
Kasus Srilanka baru baru ini adalah contoh terkini skala besar Match fixing. Kita pernah alami saat reformasi 1998 lalu. Intinya ada kekuasaan jatuh. Penguasa terhinakan dan rakyat murka. Keadilan menghilang.
Hal yang paling mengerikan dalam hidup adalah ketika kita hendak kembali menghadap Tuhan Yang Maha Penyayang. Bekal apa yang kita bawa? Jawaban apa yang bisa kita berikan? Ada 2 tempat menanti, alam persinggahan dan alam kepastian surga atau neraka?.Allah SWT adalah Hakim Yang Maha Adil. Sekedar saran, JANGAN LAKUKAN MATCH FIXING!!!