PALU_trustsulteng.com- Puluhan perkebunan sawit beroperasi di Sulteng tanpa Hak Guna Usaha (HGU). Puluhan tahun perusahaan sawit berproduksi, hanya bermodalkan izin lokasi (inlok). Negara dirugikan triliunan. Apalagi Sulteng sebagai bagian pemasukan kas daerah (PAD).
Hal inilah memantik reaksi Koalisi Rakyat Anti Korupsi (KRAK), mendesak pihak kejaksaan tinggi (kejati) Sulteng, menindaklanjuti laporan yang sudah masuk di meja Kajati Sulteng, Agus Salim SH. MH.
Harsono, Koordinator KRAK meminta agar penyidik kejaksaan segera menurunkan tim gabungan menyelidiki dugaan pelanggaran hukum dan penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan penyelenggara negara dan pegawai negeri yang terlibat kerjasama dengan sejumlah perusahaan sawit. “Ini mungkin korupsi terheboh, karena bertahun tahun berproduksi tanpa HGU sehingga merugikan triliunan bagi daerah,” kata Harsono, di Palu, Selasa 20 Juni 2023.
Sebelumnya, Muksin Mahmud, seorang wirausaha, telah melaporkan dugaan pelanggaran hukum dan penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan oleh penyelenggara negara dan pegawai negeri yang terlibat dalam kerjasama dengan sejumlah perusahaan perkebunan sawit.
Berdasarkan laporan yang diajukan ke kejaksaan tinggi (Kejati) oleh Muksin Mahmud, terdapat sekitar 62 perusahaan perkebunan sawit di wilayah Sulawesi Tengah, di mana 41 di antaranya tidak memiliki Hak Guna Usaha (HGU).
Beroperasinya perusahaan-perusahaan tersebut tanpa memiliki HGU, sebut dia, menyebabkan kerugian keuangan daerah, terutama pendapatan dari Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), tergerus.
Lebih lanjut, laporan tersebut juga mengungkapkan bahwa terdapat 18 perusahaan perkebunan sawit yang memiliki HGU, namun mereka beroperasi di kawasan Hutan Lindung bahkan di Kawasan Konservasi Suaka Margasatwa.
“Hal ini merupakan pelanggaran yang serius terhadap peraturan yang mengatur izin penggunaan lahan dan pengelolaan hutan,”ucapnya.
Dalam laporannya, Muksin Mahmud juga menyebutkan bahwa beroperasinya perusahaan-perusahaan perkebunan sawit tanpa izin resmi dari Menteri yang berwenang telah menyebabkan hilangnya sejumlah Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), seperti Dana Reboisasi, Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH), Denda Pelanggaran Eksploitasi Hutan (DPEH), dan Penggunaan Kawasan Hutan.
Contohnya,ujar dia, PT. SB, salah satu perusahaan yang diduga terlibat dalam skandal ini, diduga tidak membayar Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) sebesar Rp. 12.000.000.000,- (dua belas miliar rupiah) saat melakukan pembukaan lahan seluas 40 hektar di luar lahan plasma.
“Ini hanyalah salah satu contoh dari kerugian negara yang timbul akibat tindakan serupa oleh belasan perusahaan yang beroperasi di kawasan hutan dan perusahaan-perusahaan lain yang tidak memiliki HGU,”bebernya.
Selain kerugian ujar dia,pemerintah juga harus menanggung biaya pemulihan atas kerusakan lingkungan yang ditimbulkan dari aktivitas pengusahaan kebun secara illegal di atas kawasan hutan.
Tidak hanya kerugian Negara, papar dia, aktivitas perusahaan yang beroperasi tanpa HGU dan tanpa IPPKH tersbut juga mengakibatkan kerugian perekonomian Negara karena sebagian besar perusahaan tidak menerapkan pola kemitraan dengan masyarakat, justru masyarakat dimanfaatkan untuk membuka lahan di kawasan hutan dengan janji akan diberikan lahan sawit dan diuruskan surat tanahnya, pada kenyataanya lahan yang dibuka oleh masyarakat atas perintah perusahaan sawit tersebut dikelola oleh perusahaan.
“Hal ini telah mengakibatkan terjadinya konflik antara masyarakat setempat dengan pihak perusahaan,”katanya.
Bahwa beroperasinya perkebunan sawit tanpa HGU bertentangan dengan Pasal 42 Undang-undang Nomor 39 tahun 2014 tentang Perkebunan yang berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138 tahun 2015 .Lalu, beroperasinya perusahaan perkebunan dalam kawasan hutan bertentangan dengan Pasal 50 ayat (3) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan dan Pasal 17 ayat (2) huruf b Undang-undang Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
Ia menambahkan, bahwa leluasanya perusahaan perkebunan yang beroperasi tanpa HGU maupun yang beroperasi di kawasan hutan tanpa izin menteri diduga diakibatkan adanya peran penyelenggara Negara maupun pegawai negeri bahkan pejabat Negara setingkat Gubernur, dan Bupati yang tidak melaksanakan kewajibannya dalam melakukan pengawasan, pembinaan serta evaluasi kinerja perusahaan sawit.
Selanjutnya tutur dia, perusahaan yang beroperasi tanpa HGU dan beroperasi di kawasan hutan telah dengan sengaja beroperasi secara melawan hukum untuk menghindari kewajibannya membayar biaya BPHTB dan PNBP lainnya.
“Hal tersebut mengakibatkan kerugian keuangan Negara dan perekonomian Negara yang jumlahnya fantastis, bahkan telah disampaikan oleh Gubernur Sulawesi Tengah secara terbuka termuat di beberapa media bahwa beroperasinya perusahaan perkebunan tanpa HGU telah mengakibatkan kerugian Negara sebesar 400 miliar setiap tahunnya,”pungkasnya.***
TIM