MORUT, trustsulteng.com – Koordinator LBH Progresif Sulteng, Abd Razak, SH menanyakan kebijakan Pemkab Morut soal perpanjangan Izin Lokasi atau Inlok lahan perkebunan sawit PT ANA.
Padahal, berdasarkan aturan yang berlaku Inlok berlaku hanya 3 tahun, dan dapat diperpanjang selama 1 tahun.
Syarat untuk perpanjangan izin, yakni perusahaan sudah menguasai 50 persen dari Inlok yang diajukan, setelah itu tidak ada lagi perpanjangan.
“Kalau kota merujuk pada aturan bahwa Inlok untuk perkebunan itu berlaku 3 tahun dan dapat diperpanjangan 1 tahun setelah itu tidak dapat lagi diperpanjangan,” katanya
Artinya, sebut Razak bahwa kalau ada perpanjangan Inlok yang dilakukan oleh Pemkab Morut saat ini tentu bertentangan dengan Undang-Undang (UU). Apalagi dengan adanya peraturan pemerintah pengganti UU nomor 2 tahun 2022, tentang cipta kerja inlok menjadi kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang (KKPR).
“Kami menduga bahwa Pemkab Morowali Utara memperpanjang Inlok PT ANA, sementara perusahaan tersebut belum menyelesaikan kewajibannya kepada warga,” tutur Razak, Jumat lalu.
Sementara, lanjut dia, PT ANA sudah lebih dari 10 tahun mengajukan Inlok di Morut, namun belum mampu menyelesaikan membayar ganti rugi lahan warga.
Oleh sebab itu, sebut Razak, hingga saat ini, PT ANA tidak memiliki Hak Guna Usaha (HGU) untuk perkebunan sawit di Morut.
Parahnya, ada perpanjangan Inlok yang ditengarai dikeluarkan oleh Pemkab Morut.
“Perlu ada penjelasan dari pihak Pemkab Morowali Utara apakah betul telah dia memperpanjang Inlok PT ANA,” tandasnya.
Yang jelas, tambah Razak, PT ANA tak memiliki lahan untuk dijadikan perkebunan sawit di tujuh desa, yaitu Desa Bungintimbe, Bunta, Tompira, Towara, Malino, Peboa, dan Desa Towara Pantai, Kecamatan Petasia Timur, Kabupaten Morut.
Anehnya lagi, katanya, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulteng memfasilitasi warga di dua desa, Bungintimbe dan Bunta untuk pelepasan lahan sawit PT ANA.
“Sikap Pemprov Sulteng yang memfasilitasi soal pelepasan lahan juga patut dipertanyakan,” kata Razak.
Sebab, kalau dilihat dari rentetan masalah dapat dipastikan bahwa PT ANA tidak punya HGU.
Artinya bahwa kalau tidak punya HGU apa yang mau dilepaskan.
“Sementara PT ANA tidak memilik HGU, yang artinya tidak ada lahan perusahaan di sana,” tegas Razak.
Ia berpendapat, kenapa tidak Pemprov Sulteng mengambil alih lahan yang dikelola oleh PT ANA tersebut, dan didistribusikan kepada warga yang di Morut.
“Dan atau dikelola oleh daerah melalui BUMD,” jelas Razak.
Akal Bulus di Balik Pelepasan Lahan PT ANA?
Patut diduga ada pihak yang punya akal bulus untuk memaksakan pelepasan lahan sawit PT ANA di Kabupaten Morut.
Upaya pelepasan lahan itu ditengarai untuk kepentingan perusahaan membangun smelter nikel.
Hal itu dikemukakan Koordinator LBH Profresif Sulteng, Abd Razak, SH usai melakukan investigasi di lokasi yang masuk dalam lokasi perkebunan sawit PT ANA.
Menurutnya, pelepasan lahan yang hanya dilakukan di dua desa itu karena ada kepentingan dengan perusahaan berbeda, yakni pembangunan smelter nikel.
Sementara, masih ada lima desa lainnya di Kecamatan Petasia Timur yang ada dalam lingkar perkebunan sawit PT ANA, yakni pertama, Desa Tompira, Towara, Malino, Peboa, dan Desa Towara Pantai.
Razak mengemukakan, informasi yang mereka himpun, diduga ada keterlibatan oknum yang punya kedekatan dengan kepala daerah dalam memuluskan pelepasan lahan PT ANA.
“Kami menduga, upaya pelepasan lahan itu untuk memuluskan pembangunan smelter nikel di dua desa tersebut,” ungkap Razak. **
editor YLB