Oleh Fransiscus Manurung
Terpilihnya Kaesang Pangarep, putra bungsu Presiden Jolowi, sebagai Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menarik perhatian publik. Peristiwa politik itu menjadi salah satu tontonan paling menggelikan yang digelar secara terbuka di ruang politik. Penyebabnya, keanggotaan Kaesang di PSI baru berusia dua hari. Prosesnya pun, sim salabim.
Menurut AD/ART PSI, salah satu syarat keanggotaan untuk menjadi pengurus Dewan Pimpinan Pusat (DPP), termasuk dan tidak terkecuali bagi Ketua Umum adalah kader paripurna (pasal 18). Kader paripurna adalah kader yang telah mengikuti kegiatan pelatihan yang diselenggarakan oleh DPP (pasal 13).
Secara organisatoris, status keanggotaan Kaesang Pangarep, – meski pun putra presiden yg sedang berkuasa – hanyalah anggota biasa, bukan kader paripurna sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 18. Anggota biasa adalah individu yang mendapatkan kartu anggota namun belum mengikuti pelatihan ysng diselenggarakan partai (pasal 10).
Dalam sistem ketatanegaraan kita, partai politik merupskan pilar dan instrumen demokrasi yang sangat penting dan strategis. Kwalitas demokrasi dalam suatu negara sangat dipengaruhi oleh kwalitas demokrasi partai politik. Bahkan, partai politik – khususnya yang berada di parlemen – merupakan “penguasa” yang tak tertandingi menurut sistem yang kita anut dalam UUD 1945.
Tak kurang, keberadaan partai politik beberapa kali disebut dalam teks UUD 1945. Seluruh anggota legislatif (DPR, DPRD Prov/Kab/Kota) berasal dari rekrutmen partai politik. Pun juga Presiden dan Wakil Presiden beserta seluruh Kepals Daerah. Bahkan, penunjukan pejabat tinggi negara a.l Panglima TNI, Kapolri, Hakim Agung, Hakim Konstitusi, Pimpinan KPK tak lepas dari “campur tangan” politis dari partai politik melalui fraksinya di DPR. Tanpa endorse dari partai politik, tak ada yang bisa menduduki jabatan itu.
Partai politik adalah lembaga publik, bukan lembaga milik para pendirinya, dan bukan pula milik kelompok perorangan.
Eksistensi partai politik sebagai badan hukum publik telah dipertegas dan diakui oleh Mahkamah Konstitusi. Kata “publik” dimaknai sebagai lawan kata dari “privat”. (putusan MK No.60/PUU-XV/2017 dan putusan MK No. 48/PUU-XVI/2018).
Kontrol terhadap partai politik, baik yang berasal dari internal maupun eksternal – seperti yang penulis lakukan saat ini – merupakan konsekwensi logis dari eksistensi partai politik sebagai badan hukum publik yang notabene menikmati uang rakyat melalui bantuan dana APBN. Soal cara pelaksanaan kontrol tersebut dilakukan, itu tergantung pilihan. Partai politik tak perlu marah atau pun uring-uringan.
PSI yang konon – katanya – partai anak-anak muda, berpolitiklah secara elegan. Kiblat partai politik adalah demokrasi, bukan Jokowi. Pernyataan politik seperti misalnya “Tegak Lurus pada Jokowi”, sangat menggelikan. Apalagi dengan pengngkatan Kaesang menjadi Ketua Umum dengan proses “sim salabim”. Sebab, dengan perilaku politik yg “Jokowi minded”, bisa jadi publik “mengubah” nama PSI menjadi PTLJ (Partai Tegak Lurus Jokowi).
Soal arah dukungan politiknya, urusan internal partai. Tapi soal urusan ketaatan terhadap hukum, termasuk ketaatan terhadap AD/ART serta asas-asas demokrasi, menjadi urusan kita bersama.
Anggapan partai politik sebagai badan hukum privat – seperti perusahaan “keluarga” – yang dapat dikelola sesuka hati oleh elit partai, sudah harus ditinggalkan karena bukan jaman lagi. Kita sudah berada pada kehidupan demokrasi yang terbuka, setara dan jujur. ***