Oleh : Fransiscus Manurung, SH
Pemerintah dalam suatu negara demokrasi, mendapat keabsahan dari keberhasilannya memperoleh mandat dari rakyat untuk memerintah. Proses dan cara memperoleh mandat sangat penting bagi mutu keabsahan itu dan bagi kesediaan semua pihak untuk mengakuinya.
Pemilihan umum yang mutu keabsahannya rendah akan melahirkan keadaan tidak stabil dan lingkungan yang mendorong korupsi berkembang biak dengan cepat.
Pemilihan umum pada dasarnya merupakan ciri yang melekat pada pemerintahan demokratis. Pemilihan umum dijadikan standar universal bagi pencarian sosok kepemimpinan politik dalam negara modern yang demokratis.
Namun, masih ada juga negara yang menjadikan pemilihan umum hanya skekedar fashionable agar negara yang bersangkutan dalam pergaulan politik internasional masuk dalam kategori negara demokrasi, terlepas dari apakah dalam praktik tata kelola pemerintahan negara tersebut otoriter, seperti Indonesia, era rezim orde baru, di masa lalu.
Pasca reformasi, Indonesia berupaya bangun dari tidur panjang, berusaha sadar dan bangun dari keterlenaannya akan pencarian sosok kepemimpinan yang dicita-citakan melalui proses pemilihan umum. Namun setelah pemilihan umum beberapa kali berlangsung, kenyataan membuktikan esensi pencarian sosok kepemimpinan politik masih menyimpan pertanyaan besar.
Pemilihan umum, esensinya masih tersamar dan terpinggirkan oleh “pesta demokrasi” kelompok elite tertentu. Pencarian sosok calon pemimpin politik hanya dilakukan oleh segelintir aktor politik di belakang layar dengan berbisik-bisik. Para aktor politik beranggapan moralitas, integritas dan kapabilitas calon pemimpinan politik nasional tidak perlu mendapatkan akseptabilitas dari rakyat karena ada anggapan rakyat masih belum mampu untuk turut berpartisipasi.
Partai politik adalah anak kandung demokrasi. Secara konseptual, partai politik merupakan organisasi yang berperan sebagai motor penggerak pelaksanaan demokrasi. Partai politik memiliki Fungsi pendidikan politik, sosialisasi politik, komunikasi politik, mengelola konflik dan bahkan berfungsi sebagai sarana pembentukan, pelatihan dan pengkaderan para calon pemimpin politik, tak terkecuali sosok-sosok pemimpin nasional.
Begitu strategisnya fungsi partai politik ini sehingga sukses tidaknya seleksi political leader atau pencarian sosok calon pemimpin politik, sangat tergantung dari diimplementasikan atau tidaknya fungsi-fungsi tersebut. Atraksi lucu-lucuan yang dipertontonkan di ruang publik dalam pencarian calon sosok “pemimpin politik”, bahkan dengan mengubah undang-undang pemilihan umum melalui gedung Mahkamah Konstitusi, mestinya tidak perlu terjadi bila partai politik kembali ke habitatnya dan tidak hanya sekedar fashionable. **