KOLONODALE, trustsulteng.com – HUT Morowali Utara (Morut) ke 10, telah usai. Semaraknya luar biasa. Menampilkan sejumlah artis ibukota jakarta menghibur penonton di panggung hiburan. Namun citra Pemda Morut ternoda karena abai tak menghargai karya anak daerah, pencetus logo HUT ke 10. Logo untuk mewakili arti daerah sehingga mudah diingat, sekaligus penanda resminya sebuah moment kegiatan.
Pemda hanya menghargai selembar kertas piagam kepada Catra Litria Lingkup, seorang mahasiswa FISIP UNTAD. Anak bungsu dari tiga bersaudara. Lahir di Kecamatan Lembo, Morut. Catra harus menerima kenyataan pahit. Untung ada Mardiman Sane, menyelamatkan citra buruk pemda. Mardiman, politisi partai demokrat, memberi solusi kekecewaan Catra, dengan memberi santunan. Walaupun pemberian itu tidak mencerminkan nilai yang sesungguhnya dari karyanya.
Karena prihatin dengan kondisi Catra Litria Lingkup, Tokoh Masyarakat Morut yang juga politisi Partai Demokrat Mardiman Sane memberikan santunan kepadanya.
Mardiman Sane, memahami betul karya seorang seniman, atau kekayaan intelektual.
“Karena saya pekerja seni yang tahu menghargai hasil karya seni. Adinda kita ini bekerja menghasilkan sesuatu yang mestinya dipandang oleh semua orang. Logo yang sudah dipakai masif oleh masyarakat,” kata Mardiman di salah satu cafe di Jalan Basuki Rahmat Palu, Sabtu (4/11/2023).
Ia mengkritik praktik di mana artis-artis diberikan bayaran besar, sementara pencipta seperti Catra, yang logo dan karyanya digunakan luas oleh pihak-pihak lain, tidak mendapatkan pengakuan atau kompensasi yang pantas.
“Saya berharap agar Pemerintah Daerah Morowali Utara dan pemerintah lain di seluruh Indonesia memperhatikan dan memberikan apresiasi yang sesuai kepada karya-karya putra daerah,” tegasnya.
Santunan yang diberikan oleh Mardiman Sane kepada Catra Lingkup adalah sebuah bentuk pengakuan atas kerja keras dan dedikasinya dalam merancang logo HUT Morowali Utara ke-10.
Logo HUT ke 10 kata Catra, bukanlah hasil penjiplakan dari logo sebelumnya, melainkan sebuah karya asli yang ia buat dengan penuh semangat.
“Awalnya, panitia akan mengadakan lomba desain logo. Saya punya niatan untuk membuat logo HUT Morut sejak ulang tahun ke-9 tahun lalu. Namun, pada tahun lalu, saya diberitahu bahwa logo sudah ada, dan pada tahun ini, baru terlaksana,” ungkap Catra.
Logo ini telah disetujui oleh panitia, logo tersebut tidak pernah disebutkan akan dihargai secara finansial.
Catra menjelaskan bahwa dia ingin agar logo ini dipublikasikan dengan pengakuan bahwa dia adalah perancangnya.
Setelah logo disetujui dan dipublikasikan, Catra menunggu pemberitahuan lebih lanjut.
Namun, dia kecewa karena tidak ada konfirmasi atau tindak lanjut dari panitia.
Oleh panitia, Catra dihubungi untuk menghadiri malam ramah tamah.
Saat itu dia bimbang karena akan menghadapi mid test di kampusnya.
Catra merasa bahwa sebagai warga asli daerah tersebut, dia sudah berusaha keras untuk kembali ke Morut dan menerima penghargaan dengan biaya pribadi.
“Ketika saya tiba di sana, saya hanya mendapatkan penghargaan bersama kepala desa, bidan berprestasi, dan lainnya. Mereka bahkan menerima bonus tambahan. Saya berharap bahwa minimal ada pemberitahuan dari panitia tentang piagam atau apresiasi lain yang akan diberikan,” kata Catra.
Setelah peristiwa tersebut, Catra menghubungi media setempat, yang kemudian membantu mempublikasikan kasusnya.
Barulah setelah viral di media, panitia mulai menghubungi Catra untuk meminta nomor rekeningnya.
Meskipun dia tidak mengharapkan pembayaran besar, dia berharap ada penghargaan yang pantas diberikan atas usahanya.
“Bagi saya, yang penting adalah apresiasi dan pengakuan atas karyanya. Jika ada kompensasi, itu adalah bonus, tetapi yang lebih penting adalah mendapatkan penghargaan yang pantas atas dedikasi saya,” tambahnya, seperti dikutip dari kabarselebes.id**