Oleh; M. Syafei (oyot)
Saya kenal Rusdi Mastura (Kak Cudi) sedari awal mahasiswa, ketika beliau menjabat sebagai Walikota Palu. Setiap orang yang mengenal beliau jauh maupun dekat, pastilah menyimpulkan beliau adalah orang baik.
Meski kenal, saya tidak termasuk dekat dengan beliau (apalagi sok akrab), karena tidak sering interaksi langsung dan berbincang, apalagi senda gurau. Meski begitu, saya sering bertemu dengan beliau dalam berbagai momentum di luar Gedung Pemerintahan, itupun ketika beliau bersama dengan orang-orang dekat yang intens bersamanya.
Semasa menjadi Walikota Palu, tidak pernah 1 kali pun, saya berkunjung ke kantor Walikota untuk sesuatu kepentingan, jadi saya memang tidak pernah merasakan “nikmatnya” menjadi orang dekat beliau. Ketika menjabat Gubernur, 2 kali saya menghadap beliau secara formal di Kantor Gubernur.
Kedatangan pertama, bersama 2 orang kawan aktivis Buol membawa kepentingan Penyelesaian Konflik Agraria di Kabupaten Buol (Kasus CCM/HIP). Salah satu tindak lanjut dari pertemuan itu adalah percepatan pembentukan Tim Penyelesaian Konflik Agraria Sulteng.
Pembentukan Tim ini lambat sekali, sementara konflik di berbagai daerah makin ramai. Lebih kurang 2 bulan setelah pertemuan itu, Aksi Massa yang berbuah korban jiwa di Kabupaten Parigi Moutong terjadi, tim penyelesaian konflik ini lalu dipercepat. Sampai hari ini saya kehilangan informasi bagaimana hasil kerja tim ini.
Sementara konflik-konflik agraria yang menyebabkan rakyat dalam jumlah ribuan kehilangan hak dan akses atas tanah makin rame dimana-mana.
Pertemuan kedua, membawa Mahasiswa Pecinta Alam dari Fisip Untad untuk memperoleh rekomendasi pelaksanaan suatu kegiatan yang tidak perlu saya sampaikan di sini. Hasilnya gagal juga.
Barangkali memang saya tidak cocok dekat dengan penguasa, ketika mereka sudah menjalankan tugas. Barangkali saya lebih cocok berinteraksi dari luar birokrasi pemerintahan, baik sebagai pendukung, jadi tukang protes, atau bahkan menjadi musuh yang selalu ditunggu untuk meriahkan panggung demokrasi (yang absurd).
Terlepas dari berbagai kekurangannya, Kak Cudi tetap orang baik bagi saya, bahkan saya mencintainya, meski tidak dekat sebagaimana sejumlah teman dekat saya. Banyak cerita dan saksi mata bagaimana kerendahan hati kak Cudi ketika berinteraksi dengan rakyat tanpa pandang latar belakang. Maka itu tidak heran sangat banyak orang mencintai beliau.
Beliau sungguh merupakan contoh yang masih dapat kita lihat sampai sekarang, bagaimana menjadi Pemimpin Pemerintahan yang dekat dengan siapa saja, bahkan yang sering buat beliau gusar.
Tetapi, Pemimpin yang dikenal baik hati dan Visioner ini, bagi saya bukan pengurus pemerintahan sukses. Sebagai pemimpin yang baik hati dan merakyat beliau sukses, tetapi dalam penyelesaian masalah rakyat beliau bukan termasuk yang “Sukses”.
Masalah yang dihadapi rakyat miskin dan miskin ekstrim tidak dapat diurus dengan baik. Ini harus jujur diakui. Berbagai konflik agraria, di mana rakyat kehilangan sumber-sumber penghidupannya tak bisa diselesaikan dengan baik.
Menaikkan PAD Sulteng hingga 2 Triliun memang prestasi yang gemilang sebagai catatan kinerja, tetapi tidak terhubung selaras dengan menurunnya angka kemiskinan. Kenaikan PAD terlihat malah berkontribusi terhadap meningkatnya kualitas hidup masyarakat menengah ke atas dan orang-orang yang memang sudah cukup kaya lalu menjadi kaya.
Kata Ahmad Ali pada suatu percakapan di Youtube Chanel bersama Kamil Badrun, “apabila Morawali, Morowali Utara, dan Banggai dilepas, maka Sulawesi Tengah Bagian Barat pastilah Minus…!!!
Kalau kita cermati, jumlah tenaga kerja yang diserap oleh industri-industri ekstraktif di Morowali, Morut, dan Banggai adalah mereka yang memang punya jalan karena berasal dari rakyat “terdidik”, sementara jumlah warga tak terdidik di sana hanya jadi buruh kasar tanpa kontrak.
Banyak sekali Rakyat kelas bawah yang eksodus ke Sulteng Timur karena di tempat asal mereka sumber daya agrarianya tidak dapat memberi nafkah, sebab dikuasai oleh perusahan-perusahaan perkebunan. Tidak sedikit pula yang alih kerja dari petani terpaksa menjadi buruh industri, karena kelangkaan pupuk dan kalau pun ada sangat mahal, serta maraknya praktik tengkulak di hampir seluruh wilayah pertanian di daerah Non Industri Tambang.
Maka itu infrastruktur yang dibangun-pun, lebih banyak diakses dan dirasakan manfaatnya oleh mereka yang memang sudah nyaman hidupnya, karena punya alat transportasi, serta alat-alat angkut peralatan perkebunan dan industri. Para tengkulak lebih mudah menjangkau daerah pertanian terpencil untuk mengambil hasil tani dengan curang serta meluaskan Area penguasaan sumber-sumber agraria rakyat.
Tetapi, lagi-lagi, sungguh dengan segenap kewarasan saya, Kak Cudi adalah orang baik, kita semua tentu sepakat menilai demikian. Bahkan saking baiknya, banyak orang yang memanfaatkan kebaikan beliau untuk manfaat pribadi, baik dari golongan teman, sahabat, keluarga, dan musuh dalam tempurung.
Cintanya terhadap Sulteng sangat tinggi, Visinya untuk Sulteng sejahtera tak diragukan. Tetapi, kak Cudi sudah tak cukup kuat mengelola seluruh potensi dirinya, dan seluruh potensi-sumber daya alam juga pemerintahan untuk diarahkan kepada Visi beliau yang brilian.
Setiap mendengar Kak Cudi menjalani terapi kelas tinggi di Jakarta yang makin intens untuk kesekianbelas kalinya, saya jujur merasa sedih. Padahal kalau kita benar-benar mencintai Kak Cudi dengan kemanusiawiannya yang tinggi, lebih baik beliau dibujuk untuk Istirahat dari panggung rebut kuasa dan kekuasaan yang banyak fitnahnya.
Beliau mestinya menjadi Guru bagi setiap orang yang ingin menjadi pemimpin yang baik hati plus dekat rakyat miskin di Sulawesi Tengah.