Oleh Yusrin L. Banna
Penyelidik Kejaksaan Tinggi Sulteng terus memanggil pihak-pihak terkait atas dugaan penyalahgunaan wewenang dalam penerbitan izin lokasi (inlok) PT ANA dibeberapa lingkar sawit. Hal ini berdasar surat perintah penyelidikan Kejati Sulteng nomor ; PRINT – 08/P.2/Fd.1/05/2024 tanggal 29 Mei 2024.
Sejak 2007, PT ANA beroperasi di Kabupaten Morowali. Sekarang Kabupaten Morowali Utara. Tepatnya di Kecamatan Petasia Timur yang tersebar di beberapa desa.
Berkisar 7200 hektar lahan yang dikelola PT ANA, namun hanya ada 20 persen lahan memenuhi syarat dalam konteks Peraturan Pemerintah (PP) 24 tahun 1997.
Jika mengacu pada asas due process of law (proses hukum yang adil) dari hasil perhitungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), sudah berkisar Rp40 miliyar kerugian negara atas produksi PT ANA selama ini. Dan berdasarkan investigasi media ini, hasil temuan BPKP telah dilaporkan Gubernur Sulteng kepada Menteri BPN/ ATR di Jakarta.
Sehingga perlu ada pertimbangan yuridis negara untuk menerbitkan Hak Guna Usaha (HGU) PT ANA di Kabupaten Morowali Utara Sulawesi Tengah yang sedang dimohonkan.
Bahwa INLOK maupun IUP tidak bisa menjadi dasar penguasaan tanah oleh perusahaan, karena tidak membayar kewajibannya kepada negara, sehingga merugikan keuangan negara. Koordinator Indonesia Timur, Nusantara Corruption Watch (NCW) Anwar Hakim, mengapresiasi langkah Kejaksaan Tinggi Sulteng mengungkap dugaan adanya tindak pidana korupsi di PT. ANA.
“Sy apresiasi pak Kajati Sulteng yang baru. Telah memulai mengungkap kasus dugaan adanya tindak pidana korupsi di perusahaan PT ANA group ASTRA di Morowali Utara- Sulteng. Bahwa kemudian NCW mendesak kepada penyidik Kejati Sulteng berkenan terbitnya INLOK Tahun 2021 dan segera memanggil dan mengusut para pejabat dari tingkat kepala desa, camat, bupati dan gubernur,” tulis Anwar Hakim, pada Selasa 11 Juni 2024.
Anwar Hakim menilai, PT ANA adalah perusahaan perkebunan ilegal di NKRI sebagai mana Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 138 tahun 2015.
Dalam Putusan MK Nomor 138/PUUXIII/2015, majelis hakim MK mengubah bunyi frasa yang semula “dan/atau” menjadi kata “dan” saja. Sehingga perusahaan perkebunan baik yang sudah berdiri maupun yang akan mendirikan perusahaan perkebunan wajib memiliki hak atas tanah (DAN) Izin Usaha Perkebunan (IUP).
Dalam konteks PT ANA di Morut Kecamatan Petasia Timur, hampir semua dipersyaratkan atau yang diamanatkan oleh undang-undanh, tidak terpenuhi.
“Yang aneh bin ajaib kementerian terkait termasuk Pemda membiarkan pelanggaran tersebut terus terjadi selama berpuluh puluh tahun,” tegas Anwar.
Dan bisa lanjut Anwar Hakim, baca di pasal 42 no 39 tahun 2014 kemudian putusan MK berikut surat edaran Menteri Pertanian no 5 THN 2019,
“Sudah dua tahun kami melakukan investigasi di Morut berkenan persoalan ini,” pungkasnya. **
__bersambung_