Untuk menjelaskan soal “Naturalisasi” di Pilkada Sulteng cukup sederhana penjelasannya. Mari kita tengok prakteknya dalam sejarah pemerintahan tanpa perlu bertegang urat leher dalam debat diskusi.
Saat terbentuknya Federasi Sulawesi Tengah dimana 15 kerajaan di Sulawesi Tengah bersepakat memilih Raja Bungku bernama Radjawali Pusadan sebagai Kepala Dewan Raja-raja Sulawesi Tengah yang kemudian menjadi cikal bakal lahirnya Provinsi baru bernama Sulawesi Tengah
Para pendiri saat itu bersepakat memilih raja Bungku menjadi raja yang dituangkan memimpin dewan raja raja bukan raja dari beberapa kerajaan dari kawasan lembah Palu yang hadir.
Bukan dari Sigi, Dolo, Donggala apalagi Tavaili padahal tempat penyelenggaraan pertemuan di wilayah kerajaan Tavaili. Itulah bentuk demokrasi yang ditawarkan pertama kali saat pembentukan federasi.
Ketika akhirnya provinsi Sulawesi Tengah dilahirkan pada tahun 1963, para pendiri seperti alm.Ischak Moro, Djalaluddin Lembah, KH.Idrus al Habsyi, dan yang lainnya menerima keputusan Pemerintah Pusat dengan penunjukkan alm.Anwar Gelar Dato Madjo Basa Nan Kuniang sebagai Gubernur pertama Provinsi yang baru lepas dari provinsi Sulawesi Utara.
Dalam Gedung Juang tercatat Gubernur Sulawesi AA.Baramuli berpidato berapi-api meresmikan lahirnya provinsi itu dihadapan massa yang juga dihadiri oleh para raja-raja dari Dewan Federasi Sulawesi Tengah.
Tak ada penolakan dan semua bahagia menyambut pemimpin provinsi. Dalam praktek, kemudian jabatan gubernur berganti dimana M.Yasin, AM.Tambunan, Moenafrie, Edi Djadjang Djayaatmadja, Eddi Sabara, Galib Lasahido hingga Aziz Lamadjido memimpin daerah ini.
Benar bahwa sistem hukum dahulu itu berbeda dengan sistem yang berlaku sekarang akan tetapi satu hal yang perlu dicatat bahwa masyarakat dan politisi di Sulawesi Tengah sangat terbuka dalam soal kepemimpinan daerah.
Pembelajarannya adalah kita pernah dipimpin oleh pemimpin berasal dari luar suku di Sulawesi Tengah. Kita pernah dipimpin dari tokoh suku Minang Padang, Suku Batak, suku Jawa, suku Sunda, suku Bugis dan lainnya.
Bahkan bukan hanya berasal dari suku Kaili tapi raja Bungku pernah memimpin lalu putra daerah dari Tojo Una Una pak Galib Lasahido. Ini adalah cerminan betapa terbukanya masyarakat di Sulawesi Tengah. Memang diakui saat terjadinya perubahan aturan hukum soal pemilihan gubernur diujung orde baru dan masa reformasi kita selalu dipimpin oleh gubernur dari suku Kaili dimulai dari Prof Aminuddin Ponulele, HB.Paliudju, Longky Djanggola dan terakhir bung Rusdy Mastura.
Akan tetapi ini bukan harus diartikan bahwa itu menjadi sebuah keharusan dalam kekuasaan karena sistem yang mengatur tidak pernah membatasi hak setiap orang atau warga asal sukunya untuk bisa berkuasa di Sulawesi Tengah.
Kata kuncinya adalah bergantung aspirasi masyarakat yang diapresiasikan partai politik untuk dicalonan dan kemudian dilepas kemasyarakat untuk dipilih dalam sebuah perhelatan bernama pemilihan kepala daerah Sulawesi Tengah.
Menyinggung issue ini terkesan “norak” dan bias perubahan demokrasi. Tapi topik ini selalu muncul disetiap perhelatan pilkada dalam dekade 20 tahun terakhir.
Maklum saja toh kita masih masyarakat yang Prismatik jadi tak tabu dan kaget bila ini selalu dimunculkan. Persoalannya adalah kita tak akan mendapatkan apa apa dengan terjadinya pergantian kekuasaan setiap 5 tahunan. Kita butuh sebuah perubahan.
Saat sekarang debat dan diskusi yang harus dikembangkan bukan lagi asal usul tapi harusnya adalah seorang penguasa itu bisa membawa perubahan atas apa yang dikehendaki bersama.
Sulawesi Tengah adalah salah satu surga yang ada dimuka bumi ini. Sumber daya alam melimpah dengan ekosistem paling lengkap. Kita punya segala-galanya.
Soal ini tidak bisa terbantahkan. Tapi pada sisi lain kita tahu kemiskinan masih diratapi dan tersebar di hampir seluruh kabupaten/kota.
Kita tahu pula bahwa pengelolaan sumberdaya alam tersebut tidak semua bisa dinikmati masyarakat banyak bahkan justru kerusakan lingkungan kini menghantui dan menambah proses kemiskinan terjadi dimana akses masyarakat sangat lemah.
Tambah parah ketika perilaku maladministrasi penyelenggara timbulkan pelayanan publik yang tidak berkualitas dan memungkinkan terjadinya korupsi.
Cukup sudah kita mengembara di dunia pilkada yang belum melahirkan seorang pemimpin. Setiap masa kita tak cukup hanya sekedar lahirkan penguasa penguasa biasa.
Kita butuh petarung hebat karena kebutuhan Masyarakat dan Daerah terus meningkat sesuai tuntutan zaman. Persaingan antar tetangga juga harus disikapi utamanya dalam upaya penyelenggaraan pelayanan publik berujung kesejahteraan bersama.
Disinilah letak permasalahannya. Apakah sumberdaya manusia kita sudah mumpuni untuk melakoni apa yang menjadi permasalahan dan tantangan tersebut.
Adakah ketersediaan calon calon pemimpin yang bisa membawa perubahan itu? Apakah kita cukup dengan hanya bisa mendudukan kursi para penguasa 5 tahunan yang biasa biasa saja tanpa prestasi membanggakan?
Mengapa kita tidak meniru kebijakan PSSI lewat Shin Tae Yong lakukan naturalisasi pemain yang bisa mengubah dunia sepakbola Indonesia menjadi kuat di level Asia?
Jika kita menyadari bahwa sumberdaya penguasa tidaklah cukup tersedia, mengapa kita tidak lakukan naturalisasi? Bagaimana bisa dilakukan?
Kata kunci tetap ada di Partai Politik yang mempunyai kursi di legislatif. Partai Politik harus menaikkan beberapa digit maqomnya misal, bukan sekedar hanya menerima proses pendaftaran bakal calon gubernur dengan beberapa ritualnya termasuk pelaksanaan survey. Harusnya partai politik sudah lakukan assestment apa yang menjadi kebutuhan dengan mapping perencanaan Sulawesi Tengah yang hebat ke depan yang bisa menjawab tantangan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan perbaikan lingkungan hidup.
Partai politik tak perlu malu malu mengundang orang orang hebat sebagai calon “naturalisasi” penguasa di Sulawesi Tengah. Bila dirasakan calon yang ada dianggap belum bisa menjawab ekspektasi assestmen yang ada maka mengapa kita tidak mengambil orang hebat diluar sana?
Kita pakaikan baju visi misi Sulawesi Tengah dan partai kawal mereka jalankan program dengan kekuatan reputasi reputasi yang dimiliki untuk ditawarkan kepada pemilih kuat dalam pilkada tahun ini.
Saya membayangkan bila mereka bersedia ikut dalam kontestasi pilkada maka Sulawesi Tengah menjadi sorotan dunia politik.
Konsep Naturalisasi Pilgub memungkinkan tokoh seperti Ahmad Ali dan Anwar Hafid juga Amiruddin Tamoreka mulus mencalonkan diri. Tak ada lagi gugatan soal ” harus” dari Lembah Palu.
Bahkan kalo berani Parpol meminta tokoh sekelas Sandiaga Uno atau Anies Baswedan jika mereka bersedia. Juga mantan-mantan Kapolda atau Danrem 132 Tadulako. Alangkah hebatnya Sulawesi Tengah kelak. Tapi semuanya bergantung pada masyarakat untuk memilihnya.
Sebagai warga masyarakat yang baik, harapan adanya perubahan atas pengelolaan jalannya pemerintahan dan pembangunan amat sangat diharapkan.
Pilgub kali ini bisa melahirkan para pemimpin baru bukan hanya sekedar penguasa. Jika Shin Tae Yong bisa, mengapa kita tidak lakukan Naturalisasi?
Penulis; H. Sofyan Farid Lembah (Pekerja Sosial)