Menurut saya, ini bukan turnamen biasa. Ada cerita panjang dibaliknya. Ada misi yang diembannya: Kebangkitan sepak bola Sulteng.
Oleh; Nasution Camang
Ini bukan misi “tiba masa tiba akal”. Gagasannya sudah tersemai sejak 5 tahun lalu. Hanya karena terlampau sibuk di Jakarta lah, sipemilik gagasan belum sempat membumikannya.
“Sekarang saya sudah pulang kampung, saatnya gagasan itu ditumbuhkan,” kata sipemilik gagasan, Ahmad Ali di Hotel Santika, dihadapan komunitas sepak bola di Sulteng (25/03/2024).
Jadi, InsyaAllah pekan kedua Mei 2024 ini misi itu bakal dimulakan. Bentuknya, komiu sudah tau: Turnamen Sepak Bola Rakyat, bertajuk “Ahmad Ali Cup”. Total bonusnya, komiupun sudah tau, 1,5 Milyar.
Hmmm… sepak bola rakyat ? Kenapa pula pake kosa kata “rakyat” di belakang “sepak bola” ? Kenapa bukan turnamen sepak bola saja ?
Justeru disitulah ketidak biasaannya. Disitulah inti semangatnya, yang bikin turnamen ini bukan kaleng-kaleng. Ada spirit gerakan (movement) yang menjiwainya.
Pertama, turnamen ini harus berpusat pada rakyat: Bersumber dari potensi rakyat. Dikelola oleh rakyat. Dan bermanfaat untuk rakyat. Begitu sipemilik gagasan bilang.
“Kalianlah yang mengatur dan menentukan semuanya. Tanggung jawab saya hanya sebagai donatur saja,” katanya lagi.
Wow… ini MasyaAllah banget.
Karena sependek pengetahuanku, bertaburan orang punya gagasan memajukan sepak bola di daerah ini. Tapi terlalu sedikit yang mau menaburkan dananya. Apalagi sampe milyaran.
Itu yang pertama. Lantas yang kedua, ya itu tadi, ada misi yang diembannya: Membangkitkan kejayaan sepak bola Sulteng.
Memang di urusan sepak bola ini, Sulteng pernah berjaya, melalui Klub Persipal Palu (Persatuan Sepak Bola Indonesia Palu). Bahkan menjadi 10 besar klub terbaik di Indonesia.
Itu dulu, dulu sekali. Waktu saya masih SD sampe SMP. Berarti tahun 70-an sampe awal 80-an eranya.
Di era itu, Persipal adalah pujaan hati. Hampir tidak pernah absen menontonnya bertanding di Stadion Nokilalaki — sekarang sudah menjadi Palu Plaza. Entah bapanjat pohon mangga yang ada di luar stadion (ada juga yang panjat pohon kelapa). Atau “babonceng” (istilah dulu) orang dewasa yang punya tiket. Pokoknya bisa nonton.
Syarat babonceng: Pamit dulu dengan orang yang punya tiket. “Om boleh babonceng?” Kalo dia izinkan, maka peganglah tangannya, atau ujung bajunya. Pokoknya buat kesan kalo dirimu adalah anak atau adik siempunya tiket. Lalu jangan lupa berdoa, jika sudah mau melewati pintu masuk stadion. Hehehe…
Tapi ingat, memintanya harus sejauh mungkin dari pintu stadion. Saya dulu bacari boncengan di persimpangan Jl. Gajah Mada dan Jl. Danau Lindu. Kalo pertandingan sudah mau dimulakan, tapi jika tak juga ada yang mau kasi boncengan, maka apa boleh buat, terpaksa panjat pohon mangga.
Itu dulu, dulu sekali. Ketika Persipal bisa tembus 12 besar Liga Perserikatan PSSI (1979). Ketika Ramang jadi coachnya. Ketika Jack Donald, Erwin Sumampaow, Jaka Dewa, Yacobus Makanowae, Anwar Hadi, Dulla Wahid, Sukiman, Hendrik Montolalu jadi Scuad legendarisnya. Ketika Abdul Azis Lamadjido jadi Bupati Donggala (Ibukotanya masih Palu) dan Jadi Gubernur.
Itu dulu, dulu sekali. Sekarang? Ya… banyak juga pemain handal asal Sulteng yang muncul setelahnya. Sebut saja diantaranya: Sandi Darma Sute, Fadhil Sausu, Muh. Riflady, Rendy Saputra, Firmansyah, Fikri Adriansyah, Witan Sulaiman, Muh. Rifal dan Tri Setiawan.
Mungkin masih banyak lagi, tapi hanya itu yang saya tau. Dan setahu saya lagi, hampir semua mereka (jika tidak bisa disebut “semua”) hanya menjadi squad dan memperkuat Klub Luar.
Soal ini, terlalu naif jika menyalahkan mereka. Lantas salah siapa? Entahlah. Mungkin karena belum ada Bupati atau Gubernur yang sepeduli Azis Lamadjido. Atau mungkin karena belum ada sosok yang mau berkata: “Tanggung jawab kalian mengatur pembinaan dan kompetisi. Tanggung jawab saya menjadi donatur”. Ini mungkin.
Pada titik inilah saya, atau mungkin kita menyimpan harapan besar pada Ahmad Ali Cup. Harapan tentang kembalinya kejayaan sepak bola Sulteng. Semoga.**