
Oleh: Andika
BAYANGKAN seorang warga desa di Sulawesi Tengah, menyemprot tanahnya sendiri dengan air bertekanan tinggi untuk mencari jejak emas, lalu ditangkap aparat dan dicap sebagai penambang ilegal. Tidak ada izin, katanya. Padahal tanah itu adalah bagian dari wilayah adat, diwarisi turun-temurun, dan dikelola secara gotong royong bersama koperasi lokal. Tragisnya, mereka yang mencari nafkah dengan alat sederhana itu dianggap melawan hukum negara—sementara perusahaan besar dengan alat berat dan modal asing justru mendapatkan legalitas penuh untuk menggali isi perut bumi kita.
Inilah potret nyata di sejumlah kabupaten di Sulawesi Tengah, seperti di Parigi Moutong, Morowali, hingga Poso dan Donggala. Para penambang rakyat—yang sebenarnya hanyalah warga biasa yang berusaha bertahan hidup—harus berhadapan dengan aparat bersenjata, penindakan hukum, dan stigma sebagai perusak lingkungan. Negara hadir bukan sebagai pelindung, tetapi sebagai penghakim.
Apa yang salah dari semua ini?
Secara hukum, Undang-Undang No. 3 Tahun 2020 tentang Minerba mengatur bahwa semua aktivitas pertambangan—bahkan yang dilakukan secara tradisional—harus memiliki izin. Tapi izin ini tidak sederhana. Untuk bisa menambang emas tradisional, warga harus lebih dulu mengusulkan agar wilayahnya ditetapkan sebagai Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) oleh pemerintah pusat. Setelah itu, mereka masih harus mengurus Izin Usaha Pertambangan Rakyat (IUPR) yang biayanya bisa mencapai ratusan juta rupiah. Mana mungkin petani atau buruh desa mampu menanggung semua itu?
Sementara itu, perusahaan-perusahaan besar, baik nasional maupun asing, dapat dengan mudah memperoleh Izin Usaha Pertambangan (IUP) untuk mengelola ribuan hektar tanah. Mereka memiliki tim hukum, konsultan lingkungan, dan akses langsung ke pusat kekuasaan. Di sinilah letak ketimpangannya: rakyat kecil dan korporasi besar dipaksa bermain di arena hukum yang sama, padahal kemampuan dan kepentingannya sangat berbeda.
Hal ini bukan sekadar soal hukum pertambangan. Ini soal hak warga negara. Jika untuk mengelola tanahnya sendiri warga harus meminta izin dan membayar mahal, maka apa artinya menjadi warga negara Republik Indonesia? Apa keistimewaannya dibandingkan orang asing yang bisa datang membawa modal dan pulang dengan kekayaan?
Apakah status warga negara tidak lagi memiliki makna di hadapan kekuasaan modal?
Di banyak negara, tambang rakyat diberi ruang khusus. Negara hadir bukan hanya sebagai pengatur, tapi juga sebagai pendamping dan pemberdaya. Tapi di Indonesia, tambang rakyat justru kerap dianggap musuh. Padahal jika dibina dan difasilitasi, tambang rakyat bisa menjadi kekuatan ekonomi desa yang mandiri dan berkelanjutan.
Apa yang dibutuhkan?
Pertama, negara harus segera menetapkan WPR secara proaktif, terutama di wilayah-wilayah yang secara historis dan sosial sudah dikenal sebagai kawasan tambang rakyat. Kedua, proses pengurusan IUPR harus disederhanakan dan didelegasikan ke daerah. Ketiga, tambang rakyat perlu difasilitasi, bukan dipersekusi—dengan pembinaan teknis, lingkungan, dan kelembagaan.
Dan yang paling penting, kita perlu mengembalikan makna dari menjadi warga negara. Bahwa rakyat berhak hidup dari kekayaan alam negerinya sendiri. Bahwa republik ini dibangun untuk rakyat, bukan hanya untuk pemilik modal.
Jika rakyat Indonesia bisa dicap ilegal di tanah airnya sendiri, maka kita harus bertanya: siapa sebenarnya yang dianggap sah oleh negara ini?