
Oleh: Azman Asgar
Cerita isi perut bumi Sulawesi Tengah tidak hanya tentang nikel, tembaga, sirtukil dan uranium. Tapi juga tentang cadangan emas yang melimpah.
Hampir sebagian bentangan wilayah Sulawesi Tengah berisi kandungan emas. Paling masyhur, ada di Poboya. Punya negara, dikuasai CPM.
Tapi, yang paling menyita perhatian ada pada aktivitas pertambangan ilegal (PETI). Sebutan bagi mereka yang menambang tanpa izin.
Medio 2016-2017, wilayah Poboya dan Dongi-Dongi jadi surganya para penambang. Kantor DPRD di kepung masa, meminta pertambangan Rakyat.
Di wilyah Bora dan Vatu Nonju, Kabupaten Sigi, warga Dongi-Dongi di cegat. Belum sampai ikut bergabung dengan ribuan masa Poboya dan sekitarnya saat itu. Tuntutannya sama, pertambangan Rakyat.
Penyempitan akses terhadap lapangan kerja menjadi pemicu utama lahirnya aktivitas pertambangan liar. (Saya menyebutnya liar).
Kalau kata seorang sahabat yang ikut mendampingi, _”Orang-orang butuh makan, meski bertarung nyawa di lubang-lubang tikus”._
Kalimat ‘Pertambangan Ilegal’ jadi debatabel. Dalam perspektif lingkungan, tentu melanggar kaidah enviromental etik.
Lalu bagaimana dengan yang legal?. Tetap saja punya status yang sama. Merusak lingkungan.
Jadi, dua-duanya, sama-sama merusak kontur tanah, merubah secara drastis struktur pada tanah.
Bagaimana Negara Melihat Fenomena ini?
Dalam perspektif Negara, tentu bisa berbeda dari cara pandang environmental dalam melihat potensi sumber daya alam. Apalagi segala yang menyangkut isi perut bumi.
Bagi pegiat lingkungan ansich, jalan menolak aktivitas pertambangan secara keseluruhan adalah hal mutlak.
Sementara dalam pandangan Negara, kekayaan alam harus dikelola untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran Rakyat.
Dua kutub pandangan itu, mengerucut pada sebuah perdebatan. Apa sih penyebab kerusakan lingkungan itu, sistemnya yang rakus (Kapitalisme) atau Industrialisme?
Partai Hijau Eropa misalnya, menyerang Industrialisme sebagai asbab kerusakan lingkungan. Lalu menawarkan Industri sukarela.
Bagi pemikir Marxian, sistem Kapitalisme di anggap menjadi akar masalah dari kerusakan lingkungan secara brutal.
Andre Gorz, punya pandangan menarik mewadahi perbedaan dua kutub itu. Dalam karyanya _Ekologi as Politics_, Gorz melihat implikasi ekonomi politik dari perubahan ekologis.
Bagi Gorz, Kerusakan lingkungan secara brutal dikarenakan konsumsi yang juga ikut mengalami kebrutalan.
Hal itu, mendorong upaya proses ekspolotasi dan monopoli Korporasi terhadap sumber daya strategis milik Negara menjadi lebih cepat dan ugal-ugalan.
Balik ke soal tambang ilegal. Perbedaan menyikapinya pun mengarah pada pembelahan kesadaran dan kelompok. Antara penolak dan pro penambangan.
Itu lumrah, sebagai khazanah berdemokrasi. Meski begitu, dibutuhkan sikap dan posisi yang tegas melihat pengelolaan SDA dalam kacamata Negara dan Rakyatnya.
Negara Mensejahterakan
Skema Izin Pertambangan Rakyat (IPR) yang sudah di gagas pemerintahan Prabowo harus di lihat sebagai upaya mendorong kemandirian rakyat.
Selama ini, dalam relasi hubungan produksi pengelolaan sumber kekayaan alam, Rakyat hanya terserap menjadi buruh pertambangan. Tidak lebih.
Hadirnya skema IPR memberi peluang terhadap warga untuk ‘menguasai’ alat produksi (wilayah konsesi) sebagai basis material penopang kemandirian ekonominya secara bersama.
Gagasan kemandirian Pemerintah pusat dalam pengelolaan sumber kekayaan alam mesti senapas dengan jajaran pemerintahan di bawahnya. Gubernur, Bupati, Walikota, Legislatif dan institusi lainnya.
Pernah dalam satu kesempatan, saya menyodorkan pertanyaan ke salah satu teman. ‘Kenapa main tambang ilegal?’
‘Sama ongkosnya. Legal atau ilegal’ sesimpel itu ia menjawab.
Kemudahan serta percepatan pembuatan IPR mesti terpastikan. Jangan berbelit, jelimet dan birokratis.
Negara memberi kesempatan terhadap Rakyatnya untuk merumuskan, memutuskan dan berdaulat atas pengelolaan sumber dayanya.
Ini momentum baik. Tidak boleh terlewatkan begitu saja. Negara tidak ingin rakyatnya menjadi maling di tanahnya sendiri.
Itu sebab mengapa Negara dengan penuh kepercayaan diri memfasilitasi melalui instrumen hukum yang tegas.
Beri rakyat kesempatan menambang di tanah airnya sendiri, sebelum semua habis di lahap para korporasi.**
Penulis adalah aktivis tambang