Oleh: Salihudin M. Awal (Jamaah Haji Kota Palu, Sulawesi Tengah)
Akhirnya, subuh itu, seluruh rombongan kami benar-benar sudah lengkap di tenda Arafah. Setelah malam panjang yang penuh cobaan, pencarian tenda yg sempat berputar-putar, dan tidur yang hanya sejenak di kasur tipis, pagi pun menyambut kami dengan udara kering dan terik yang mulai menggigit. Tapi semua kelelahan seakan mencair dalam kesadaran: inilah waktunya. Saat agung yang ditunggu-tunggu. Wukuf di Arafah.
Kami berbenah sejak pagi. Mencuci muka, lalu pelan2 menata hati. Sebagian besar duduk diam dibawah tenda. Tapi ada pula yg diluar menatap langit Arafah yang biru membakar. Ada yg membuka mushaf kecilnya, mulai membaca ayat demi ayat. Ada pula yg mengeluarkan catatan di lembaran kertas —doa-doa untuk diri sendiri, untuk pasangan, untuk anak-anak, orang tua, sahabat, guru, bangsa, hingga untuk jiwa-jiwa yang telah lebih dulu kembali ke rahmat Tuhan.
Lalu tibalah waktunya.
Wukuf dimulai dengan khutbah. Suara khatib menggetarkan, meski sederhana. Ia tidak banyak bermain kata, tapi tiap ucapannya seolah mengetuk pintu jiwa kami satu per satu. Ia mengingatkan bahwa inilah waktu terbaik dalam hidup manusia—saat kita paling dekat dengan langit. Saat Allah turun ke langit dunia, menjawab doa-doa hamba-Nya yang berseru dalam kepasrahan.
Lalu kami sholat Dhuhur dan Ashar dijamak qashar. Satu sujud di Arafah seolah lebih berat maknanya daripada seribu sujud di tempat lain. Hati kami luluh. Hampir semua mengeluarkan airmata.
Lalu setelahnya, dimulailah doa wukuf. Setelah berdoa bersama yang dipimpin oleh Korlap dilanjutkan doa sendiri2. Ada yang berbisik lirih dengan suara serak, ada yang hanya menangis tanpa suara. Tapi langit tahu, bumi Arafah mendengar, dan Allah Maha Menyaksikan.
Saya melihat seorang bapak yg menggenggam tangan istrinya erat. Lalu mendekapnya. Sang istri menangis dalam pelukannya. Di sudut lain, seorang ibu muda hanyut dalam doanya. Air matanya tak berhenti keluar, mengalir deras membasahi kacamata beningnya. Di sudut lain seorang anak mencium tangan ibunya, lalu bersimpuh di lutut ayahnya. Tak ada kata. Hanya pelukan. Air mata. Dan maaf yang mengalir tanpa harus diucapkan.
Saya sendiri tak kuasa. Saat menyebut satu-satu nama orang yang saya cintai, dada ini bergemuruh. Nama istri, orang tua , adik-adik, keluarga dekat, sahabat-sahabat lama, semua hadir satu per satu dalam benak. Seolah mereka duduk di hadapan saya. Dan saya pun bicara pada Allah, memohonkan kebaikan untuk mereka semua.
Suhu mencapai 42 derajat Celsius. Tapi panasnya terasa lebih ringan. Mungkin karena hati kami lebih fokus daripada merasakan terik. Atau mungkin karena Arafah sendiri yang menyelimuti kami dengan kasihnya.
Tapi tetap, peluh tak bisa ditahan. Pendingin tenda tidak mempan. Keringat bercucuran di dahi, di punggung, di dada. Namun keringat ini seolah menjadi saksi, bahwa kami datang ke tempat ini bukan untuk berwisata, tapi untuk berserah.
Waktu terus berjalan. Menjelang akhir wukuf, kami kembali saling mendekat. Berjabat tangan. Berpelukan. Yang tadinya hanya saling sapa biasa di hotel, kini saling memeluk penuh rasa. Ada yang berulang kali meminta maaf, seolah merasa tak cukup satu kali. Ada yang tersedu dalam pelukan saudaranya, sesama jamaah yang baru dikenalnya beberapa hari lalu, tapi kini serasa lebih dekat dari keluarga.
Kami tahu, inilah momen yg bisa jadi tak akan terulang lagi seumur hidup. Haji bukan hanya soal rukun dan syarat. Tapi soal penyucian hati.
Hari ini, di Padang Arafah, kami benar-benar mengalaminya.
Di luar tenda, langit tetap membakar. Tapi di dalam tenda-tenda itu, ada jutaan jiwa yang sedang meneteskan air mata. Bukan karena panas. Tapi karena kasih yang tumpah. Karena rindu yg memuncak. Karena syukur yang tak bisa dibendung.
Wukuf bukan hanya ritual. Ia adalah cermin. Cermin jiwa yang selama ini mungkin berdebu oleh dunia. Di sinilah kami menghadap, dengan apa adanya. Dengan luka, dosa, cinta, dan harap. Dan dengan segenap keberanian untuk memulai hidup baru.
Saat matahari perlahan condong ke barat, kami tahu waktu wukuf akan segera berakhir. Tapi kami juga tahu, pelukan di Arafah ini akan abadi dalam ingatan kami. Doa-doa yang terucap hari ini akan mengiringi langkah kami pulang nanti. air mata yg jatuh di tanah Arafah ini, semoga menjadi saksi cinta kami kepada Allah dan kepada sesama manusia.
Wallahu A’lam
