KASUS pengunduran diri pejabat di berbagai negara maju seringkali terjadi dengan berbagai alasan. Di Jepang, pengunduran diri tersebut menjadi tanggung jawab moral karena suatu kesalahan atau gagal dalam melaksanakan tugas. Fenomena “harakiri politik” pengunduran diri di kalangan pejabat di Jepang merupakan bentuk permintaan maaf tertinggi dan cerminan akuntabilitas kepemimpinan publik kepada masyarakat.
Oleh: Fransiscus Manurung
Makiko Yamada, juru bicara PM Yoshihide Suga mengundurkan diri pada tahun 2021 setelah dirinya ketahuan ditraktir makan malam mewah oleh sebuah perusahaan putra tertua Suga, Seigo Suga. Makan malam itu terjadi pada tahun 2019 saat dirinya menjabat di Kementerian Dalam Negeri dan baru ketahuan dua tahun kemudian pada tahun 2021. Harga makanan yang disantap oleh Makiko hanya USD 700, setara (Rp.11.620.000).
Fumio Kishida merupakan Perdana Menteri (PM) Jepang yang sejak 4 Oktober 2021 hingga 1 Oktober 2024. Ia memutuskan memilih mundur sebelum masa jabatan yang seharusnya selesai di tahun 2025. Penyebab pengunduran dirinya akibat skandal korupsi yang terjadi di Partai Demokrat Liberal (LDP), di mana dirinya sebagai pemimpin partai yang berkuasa di Jepang. Kasus korupsi tersebut berupa pemberian hadiah sejumlah 500 juta Yen (Rp.54,7 miliar) kepada orang-orang yang menjual tiket acara partai, yang penjualannya melampaui target. Harakiri politik yang dilakukan oleh Fumio Kishida disusul pula oleh para menteri dan wakil menteri yang berasal dari Partai Demokrat Liberal sebagai bentuk pertanggungjawaban kolektif partai. Harakiri Politik secara kolektif.
Di Indonesia, pengunduran diri pejabat karena kesalahan atau gagal dalam melaksanan tugas jarang terjadi. Bahkan tersangka maupun terpidana masih dianggap layak menjadi pejabat publik. Padahal, TAP MPR Nomor VI Tahun 2001 Tentang Etika Berbangsa, masih berlaku dan mengikat.
Pasal 3 TAP MPR VI Tahun 2001 merekomendasikan kepada Presiden dan lembaga-lembaga tinggi negara serta masyarakat untuk melaksanakan TAP ini sebagai ‘acuan dasar dalam kehidupan berbangsa’. Etika pemerintahan mengamanatkan agar penyelenggara negara mundur apabila merasa dirinya telah melanggar kaidah dan sistem nilai ; atau dianggap tidak mampu memenuhi amanat masyarakat, bangsa, dan negara.
Pernyataan jenderal Sigit Lystio Prabowo, yang menolak desakan masyarakat untuk mengundurkan diri dari jabatan Kapolri, dengan mengatakan, jika dirinya mundur, maka dia sama saja dengan meninggalkan anggota dan institusi Polri yang sedang terpuruk (Kompas.com 26 September 2025), perlu dipertimbangkan kembali dan diselaraskan dengan TAP MPR Nomor VI Tahun 2001. **
Salam Demokrasi