Palu, trustsulteng – Beredarnya berita klaim dukungan keluarga besar pendiri Alkhairaat kepada salah satu pasangan calon (paslon) Gubernur dan Wakil Gubernur memicu reaksi Habib Muhammad Sadiq Lc, MA, cicit Guru Tua,
Dalam keterangan tertulisnya yang dikirimkan ke redaksi Habib Sadiq menekankan bahwa tidak ada dukungan resmi dari keluarga besar pendiri Alkhairaat kepada salah satu calon gubernur Sulteng Anwar Hafid, dan bahwa klaim tersebut hanya upaya untuk memanipulasi persepsi publik.
“Bagaimana mungkin kami mendukung seseorang yang terlibat dalam masalah internal yayasan Islam Alkhairaat? Klaim bahwa seluruh keluarga mendukung Anwar Hafid adalah kebohongan besar. Kami berdiri di luar politik dan tidak terlibat dalam perpecahan ini,” ujar Mohammad Sadig, yang juga cicit dari Guru Tua, melalui pesan tertulis Rabu malam 21 Agustus 2024.
Pernyataan Mohammad Sadig yang juga tokoh muda Alkhairaat ini mencerminkan kekhawatiran yang mendalam tentang potensi perpecahan di dalam organisasi Alkhairaat, yang saat ini memiliki sekitar 20 juta pengikut.
Menurut dia, Pada Pilkada Sulteng tahun 2015, Alkhairaat juga terbelah akibat maklumat yang dikeluarkan oleh salah satu pemimpin mereka, yang mendukung salah satu kandidat.
“Polarisasi yang terjadi saat itu menciptakan luka yang mendalam di kalangan Abnaulkhairaat, sebutan untuk warga Alkhairaat, dan perpecahan serupa dikhawatirkan terulang kembali,” ujarnya.
Kontroversi semakin memanas ini, tambah Habib Sadig, ketika dua individu yang mengaku sebagai keturunan Guru Tua yang berafiliasi dengan partai PKS, mendukung pasangan Anwar Hafid untuk Pilgub Sulteng 2024.
PKS sendiri merupakan salah satu partai politik yang mendukung Anwar Hafid dalam Pilgub Sulteng 2024. Namun, sebagian besar anggota keluarga besar pendiri Alkhairaat menolak klaim bahwa mereka mendukung Anwar Hafid. Mereka menegaskan bahwa posisi politik mereka tetap netral dan tidak berafiliasi dengan kandidat manapun.
Dewan penasehat Lingkar Studi Aksi Demokrasi Indonesia (LSADI) Sulawesi Tengah ini, membeberkan bahwa Perpecahan internal yang disebabkan oleh keterlibatan politik telah merusak reputasi dan kepercayaan terhadap lembaga tersebut. Jika tidak ditangani dengan hati-hati, perpecahan yang sama bisa terjadi lagi pada Pilgub tahun 2024 ini.
“Pelajaran dari Pilgub 2015 harusnya cukup menjadi pengingat bagi kita semua. Alkhairaat adalah lembaga pendidikan, dakwah, dan sosial yang seharusnya tetap fokus pada misi utamanya. Jangan biarkan politik memecah belah kita lagi,” pintanya.
Di tengah suhu politik yang semakin memanas, anggota keluarga besar pendiri Alkhairaat berharap bahwa komunitas mereka dapat tetap bersatu dan fokus pada tujuan utama lembaga, yaitu pendidikan dan dakwah, tanpa terlibat dalam persaingan politik yang berpotensi merusak.
Pilkada serentak tahun 2024 akan dilaksanakan di seluruh Indonesia, termasuk Sulawesi Tengah, yang akan memilih gubernur baru.
Beberapa nama besar sudah muncul sebagai kandidat dalam kontestasi politik ini, di antaranya adalah Ahmad Ali, Anwar Hafid, Rusdy Mastura, Irwan Lapatta, dan Hidayat Lamakarate.
Dalam pertarungan ini, Ahmad Ali berpasangan dengan Abdul Karim Aljufri dengan dukungan dari koalisi besar partai politik, sementara Anwar Hafid berpasangan dengan Reny Lamajido dengan dukungan dari partai Demokrat, PKS, dan PBB.
Sebagai organisasi yang telah berdiri sejak tahun 1930, Alkhairaat memiliki pengaruh besar di Sulawesi Tengah.
Organisasi ini didirikan oleh H.S. Idrus Bin Salim Aljufri, atau yang lebih dikenal sebagai Guru Tua, yang hingga kini tetap menjadi sosok sentral dalam komunitas Muslim di Bumi Tadulako tersebut.
Sejak berdiri, Alkhairaat selalu menegaskan posisinya sebagai lembaga non-politik yang tidak berafiliasi dengan partai politik mana pun, sesuai dengan amanat pendirinya pada muktamar tahun 1963.
Meskipun demikian, setiap kali momen pemilihan tiba, baik itu pemilu nasional maupun pilkada, Alkhairaat kerap menjadi sorotan.
Hal ini disebabkan oleh kecenderungan politisi lokal maupun nasional yang sering datang ke lembaga ini untuk meminta restu dari para habib, ulama, kiai, dan ustad-ustad yang berada di lingkup Alkhairaat.
Praktik ini, meski lazim, sering kali memicu kontroversi, terutama ketika tokoh-tokoh agama tersebut dianggap membawa nama Alkhairaat untuk mendukung kandidat tertentu.
Dengan semakin dekatnya hari pemilihan, masyarakat Sulawesi Tengah akan terus mengamati bagaimana Alkhairaat, sebagai lembaga yang berpengaruh, akan menyikapi situasi ini.
Apakah mereka akan tetap netral seperti yang diamanatkan oleh pendirinya, ataukah akan ada pergeseran yang bisa mengubah dinamika politik lokal? Hanya waktu yang akan menjawabnya.**