“Bahagia itu hak kita, jangan pernah berharap orang lain dapat membahagiakan diri kita” Kalimat ini diucapkan seorang H. Ahmad Ali, saat ditanya wartawan tentang sisi kehidupannya semasa kecil.
Oleh; Yusrin. L. Banna
Ahmad Ali, terlahir dari keluarga mapan, tapi hidupnya tidak dimanjakan oleh kedua orang tuanya. Dididik untuk hidup disiplin, jadi pekerja keras. Orang tua mempersiapkan dirinya, untuk menjadi kebanggaan adik adiknya. Karena dia putra tertua dari saudaranya. Masih duduk di bangku sekolah dasar (SD) sudah diajar bagaimana membantu orang tua mencari uang.
“Sejak kelas 3 SD, saya setiap pulang sekolah, belum bisa makan siang sebelum mengangkat dua termos berisi es mambo berkeliling kampuang untuk jualan. Luas kampungku di Wosu, bisa sampai tiga kilo saya jalan,” kisahnya.
Tamat SD, Ahmad Ali melanjutkan pendidikan SMP di Desa Marsaole (sekarang kota bungku) Kabupaten Morowali. Disana dia tinggal bersama tantenya. Saudara kandung ayahnya.
Dia tidak seperti anak – anak kebanyakan. Pergi pulang sekolah jalan kaki. Orang tuanya tidak mengizinkan pakai motor. Pulang sekolah, habis makan, dilarang tidur siang. Karena harus ke kebun. Berjalan sejauh 4 kilo pulang pergi (pp). Begitu setiap hari dia jalani sampai menamatkan sekolah menengah atas (SMA).
Ditanya, apakah pernah alami susah dari sisi ekonomi.? Sebagai keluarga mapan, Ahmad Ali mengaku bahwa dia dididik ayahnya untuk adaptif dengan lingkungan.
Saat duduk di bangku SMA, hidupnya lebih tragis. Jalan ke sekolah sepanjang dua kilo PP. Pulang sekolah tetap ke kebun. Begitu tiap hari ia geluti. Nanti tamat SMA melanjutkan kuliah di Universitas Tadulako (untad) Palu, baru ayahnya izinkan pakai motor. Tinggal di perumahan bersama tantenya. Sampai selesesai kuliah tahun 92.
Pada semester III, tahun 88, ayahnya telah menugasinaya mengelola uang miliaran rupiah. Tapi dia dibatasi gunakan uang. Dia hanya bisa menggunakan uang tidak boleh lebih dari Rp150 ribu perbulan. Dan setiap bulan harus memberikan laporan ke ayahnya.
“Saya terkadang komplen dalam hati, ini ayah sayang saya atau sengaja menyiksa saya. Harta banyak kok dibatasi pakai uang. Nanti setelah selesai kuliah, baru saya tau, ini tujuan dan manfaatnya,” akunya.
Kembali dia menjawan pertanyaan apakah pernah alami kesusahan secara ekonomi, putra tertua pasangan H. Sun dengan Hj. Sa’adia binti H. Himran (almarhumah) ini, H. Ahmad Ali mengatakan, bahwa ketika tamat kuliah dia yang tidak punya bakat jadi pengusaha, memilih menjadi dosen. Ayahnya yang tidak setuju, meminta dirinya harus menjadi pengusaha.
Karena dia tidak menjiwai sebagai pengusaha, ayahnya memberi modal. Apa yang terjadi, hanya tiga bulan modal usahanya habis. Semua kendaraan habis terjual. Dia pun hari-harinya hanya sewa ojek. Ketika itu dia hidup di Kabupaten Poso.
Suatu ketika pada moment bertemu orang tua, Ahmad Ali menyatakan tekadnya kepada kedua orang tuanya, bahwa dia tidak perlu dibantu secara materi. Dia minta kepada orang tuanya, khusus mamanya untuk didoakan. Dia tidak akan pulang kampung jika tidak sukses secara ekonomi.
Di tahun 97, Ahmad Ali menikah dengan Nilam Sari Lawira. Membangun rumah tangga dengan kehidupan pas pasan, walaupun istrinya Nilam Sari saat itu bekerja sebagai pegawai bank swasta.
Diperjalanan kehidupan rumah tangganya, dia meminta istrinya meninggalkan pekerjaan sebagai pegawai bank.
“Saya bertekad tidak akan menyerah. Satu prinsipku, jangan sampai menipu orang saat berusaha, apalagi mencuri. Itulah hingga saya sampai pada level saat ini,” kisahnya, Diapun mengutip kalam Allah, ” Bahwa Allah tidak akan memberikan beban kepada hambaNya melebihi kemampuannya. Dan tidak ada proses yang mengingkari hasil.
Kini Ahmad Ali membangun usahanya. Ada usaha perkebunan dan perikanan. Juga membangun pesantren Modern Insan Cita beralamat di Kabupaten Sigi. Dia berharap, pesantren tetap eksis, tidak boleh mati walau kelak dia telah meninggal dunia. **