Oleh Dr Tavip Muhammad MH
Logis adalah kata yang seringkali digunakan untuk menerangkan sesuatu yang masuk di akal.
Ada beberapa ungkapan lain untuk menerangkan tentang pengertian logis, tapi menurut saya inilah penjelasan yang paling sederhana.
Sesuatu yang diterangkan dikatakan masuk di akal, sesungguhnya karena terformat dalam susunan “alasan” yang baik, benar dan wajar.
Mengapa Negara menjadi benar memungut pajak atas rakyatnya?, tersedia beberapa teori untuk menjelaskan dasar dasar pembenaran pemungutan pajak oleh negara, salah satunya saja adalah teori asuransi.
Melalaui teori ini, Negara menjadi benar memungut pajak karena Negara memerankan aktifitas “menjamin keamanan” dan bahkan “menjamin kesejahteraan” rakyat. Memerankan aktifitas itu membutuhkan sejumlah uang, dan salah satu sumber untuk mendapat uang melalui pungutan pajak.
Pada konteks yang sama, secara kausalitas dapat dielaborasi, mengapa rakyat harus dijamin keamanan dan kesejahateraannya oleh Negara?, karena rakyat telah membayar pajak. Logis!!!
Berikutnya, mengapa penjual harus menyerahkan barang jualannya kepada konsumen pembeli, atau sebaliknya mengapa konsumen pembeli harus membayar sejumlah uang kepada penjual dalam transaksi suatu jual beli?. Untuk ilustrasi yang satu ini tak perlu dinarasikan alasan logisnya, karena saya yakin kita semua telah mengantonginya.
Jika ada sesuatu yang masuk di akal, tentu ada pula sesuatu yang tidak masuk di akal, atau setidak tidaknya perlu dipertanyakan kemasuk-akalannya.
Sesuatu yang tidak masuk di akal, dalam ilmu logika disebut sebagai “sesat pikir” (fallacy), karena tidak mencapai keterlengkapan atau kecacatan atas sesuatu yang baik, benar dan wajar.
Tidak sedikit bentuk sesat pikir yang sering dijumpai dalam kehidupan sehari hari. Untuk kepentingan tulisan ini, saya hanya akan menghadirkan salah satu bentuk sesat pikir yang disebut sebagai Argumentum ad misericordiam.
Sesat pikir dalam bentuk Argumentum ad misericordiam merupakan salah satu bentuk sesat pikir, karena alasan dibalik out put suatu pikiran berdasar atas belas kasih, bukan berfokus terhadap objek yang tengah dibicarakan, atau terhadap perbuatan yang tengah dibahas.
Misal, seorang atasan di sebuah kantor mempromosikan jabatan karyawannya yang tidak punya prestasi, hanya karena atas belas kasihan bahwa karyawan itu telah lama mengabdi serta perekonomian keluarganya tidak berkepastian.
Atau, seorang dosen dicela oleh kolega dosen lainnya, karena tidak meluluskan seorang mahasiswa dalam suatu ujian, Karena sering bolos, tidak pernah mengerjakan tugas dan bahkan saat ujian akhir, hasil kerjanya bernilai sangat rendah, abai mempertimbangkan bahwa mahasiswa tersebut harus dikasihani karena biaya kuliah dan biaya hidup selama kuliah ditanggung sendiri oleh mahasiswa tersebut melalui bekerja secara non formal, siang maupun malam.
Dua ilustrasi di atas jika dipraktekan, menurut ilmu logika digambarkan sebagai sesat pikir atas belas kasih. Jangan dilakukan!!!
Dari perspektif ilmu hukum, bentuk sesat pikir Argumentum ad misericordiam mengalami penolakan, karena jika sesat pikir bentuk ini di terima sebagai sebuah kebenaran, maka hukum akan kehilangan roh penuntunnya, yakni moral dan keadilan.
Jika hukum diartikan sebagai penegak hukum, atau lebih khusus tertuju pada hakim, maka hakim akan dipandang tidak bernurani.
Tegasnya, Argumentum ad misericordiam, dalam ilmu hukum tidak dapat diterima kehadirannya, atau setidak tidaknya masih dipersoalkan eksistensinya.
Sejenak kita arahkan perhatian kita pada kasus pidana seorang konglomerat di tanah air. Konglomerat itu, telah di vonis secara in absentia (vonis tanpa kehadiran tersangka) terbukti bersalah, lalu sebelum eksekusi vonis, konglomerat terpidana (KT) melarikan diri. Dalam pelariannya KT tertangkap. Saat tertangkap, terungkap bahwa semua aktifitas dalam pelarian, melibatkan oknum para penegak hukum dari beberapa instansi secara kolaboratif.
Dugaan atas seluruh perbuatan di atas, oleh Rocky Gerung disebutkan sebagai bukti tentang skandal buruknya gorong gorong gelap penegakan hukum di Negara Indonesia. Pada tahap selanjutnya, dugaan atas seluruh perbuatan itu dihadirkan dalam proses peradilan. KT divonis bersalah 4,5 Tahun, oknum penegak hukum yang terlibatpun dinyatakan bersalah.
Beberapa minggu yang lalu, publik terkesima, KT melalui upaya hukum yang dilakukannya, Hakim memutuskan, bahwa hukuman piadana terhadap KT berkurang dari 4,5 Tahun menjadi 3,5 Tahun.
Dalam sistimatika vonis, ada satu bagian yang merupakan “mahkota” dari putusan hakim yakni pertimbangan hukum hakim.
Jadi kualitas putusan hakim terletak pada mahkotanya, mahkota putusan hakim adalah pertimbangan hukumnya, karena dalam pertimbangan itu akan tergambar alasan alasan logis dibalik putusan itu.
Apakah isi pertimbangan putusan hakim atas pemotongan pidana terhadap KT?.
Terdapat beberapa pertimbangan hakim, tapi yang menarik perhatianku hanyalah terletak pada pertimbangan sosiologis bahwa KT telah menerima hukuman yang paling berat dari masyarakat, berupa hujatan, makian dan hal lain yang kurang lebih serupa seperti itu.
Pada konteks ini, menurut amatan saya perspektif hakim ingin menegaskan bahwa KT dipandang sebagai orang harus dikasihani, karena telah mengalami hujatan, makian dari masyarakat.
Jika benar demikian, maka bukankah ini merupakan sebentuk Argumentum ad misericordiam, yang sebelumnya dipahami sebagai sesuatu yang tidak punya tempat di dalam ( perkembangan pikiran dan) praktek hukum?. Lalu mengapa terjadi?, apakah ini wujud dari penerapan hukum progressif?, atau inikah yang disebut sebagai terobosan hukum maupun penemuan hukum oleh hakim?
Kejadian ini menyadarkanku bahwa Argumentum ad misericordiam harus tetap diterima di dalam (perkembangan pikiran dan) praktek hukum, agar kita masih dapat menilai bahwa putusan hakim atas KT adalah vonis tanpa mahkota, karena vonis itu terbangun dalam sebuah pertimbagan dari argumentasi yang sesat pikir (fallacy).