Oleh: Puang Eman
Morowali, 2 Maret 2025 – Industri tambang dan smelter di kawasan PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) kembali dihadapkan pada dilema besar. Regulasi penggunaan bus sebagai moda transportasi utama dalam kawasan yang diberlakukan demi keselamatan pekerja kini menjadi perdebatan sengit di kalangan pengusaha, khususnya mereka yang baru memulai bisnis di sektor tenaga kerja.
Aturan ini lahir dari banyaknya insiden kecelakaan yang merenggut nyawa pekerja di dalam kawasan industri. Pemerintah dan pihak pengelola kawasan menilai bahwa penggunaan bus dapat menekan angka kecelakaan dan meningkatkan keselamatan. Namun, implementasi kebijakan ini tidak serta-merta diterima dengan mudah oleh para pengusaha.
Bagi pengusaha yang baru merintis usaha di sektor tenaga kerja, aturan ini menjadi beban tambahan. Mereka masih mengandalkan kendaraan pribadi atau sewa yang lebih fleksibel dibanding bus. Selain itu, ada permintaan dari sejumlah perusahaan agar jika aturan ini benar-benar diterapkan, maka nilai kontrak di dalam kawasan harus diatur dan dinaikkan. Hal ini menjadi wacana yang berkembang di kalangan pengusaha, karena tarif kontrak yang ada saat ini dinilai belum mencerminkan beban operasional yang semakin besar.
Tak hanya itu, pengusaha lokal di Morowali juga menghadapi tekanan dari kebijakan perusahaan-perusahaan China yang beroperasi di kawasan tersebut. Kontrak kerja yang diberikan perusahaan asal China dinilai jauh lebih rendah dibanding standar yang diharapkan, membuat kesejahteraan tenaga kerja lepas di kawasan industri semakin minim. Kondisi ini bahkan menyebabkan banyak pengusaha lokal di luar Morowali gulung tikar karena tidak mampu bersaing dengan nilai kontrak rendah yang diterapkan perusahaan China.
Dilema ini seperti buah simalakama bagi pengusaha lokal. Di satu sisi, mereka ingin beradaptasi dengan aturan baru demi keselamatan pekerja, tetapi di sisi lain, tekanan biaya operasional dan rendahnya nilai kontrak membuat mereka kesulitan bertahan. Jika tidak ada solusi yang adil, aturan ini bisa berujung pada semakin berkurangnya pengusaha lokal yang mampu bertahan di kawasan industri PT IMIP.
Situasi di kawasan PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) memanas. Pagi ini, ratusan karyawan kontraktor yang bekerja di dalam kawasan industri melakukan aksi protes setelah dilarang masuk karena masih menggunakan kendaraan pickup dan kendaraan sewa lainnya. Aturan baru yang mewajibkan penggunaan bus sebagai moda transportasi utama bagi pekerja kini berujung pada kemarahan massal.
Sejak pagi, beberapa titik akses utama kawasan dijaga ketat oleh petugas keamanan. Karyawan yang terbiasa menggunakan kendaraan pribadi atau sewa tidak diperbolehkan masuk, menyebabkan antrean panjang dan ketegangan yang semakin meningkat. Kekecewaan yang awalnya hanya berupa protes verbal berubah menjadi aksi anarkis. Beberapa pekerja yang frustrasi mulai melakukan pembakaran unit kendaraan di dalam kawasan serta merusak fasilitas yang ada.
Tak hanya itu, kondisi ricuh ini juga dimanfaatkan oleh oknum tak bertanggung jawab untuk melakukan pencurian di dalam kawasan. Sejumlah laporan menyebutkan bahwa beberapa gudang dan kendaraan perusahaan mengalami penjarahan di tengah kekacauan yang terjadi.
Aksi ini menjadi puncak dari ketidakpuasan pekerja terhadap kebijakan baru yang dianggap memberatkan, terutama bagi karyawan kontraktor yang belum mendapat solusi transportasi yang jelas. Pengusaha yang menggantungkan bisnisnya pada kendaraan sewa juga merasa terhimpit dengan aturan ini. Selain masalah keselamatan, mereka menuntut agar ada kebijakan yang lebih adil terkait kenaikan nilai kontrak agar biaya operasional tetap seimbang.
Regulasi yang baik seharusnya tidak hanya mengedepankan keselamatan, tetapi juga memperhitungkan kesejahteraan semua pihak yang terlibat. Apakah pemerintah daerah dan pengelola kawasan akan meninjau ulang kebijakan ini agar lebih berpihak pada pengusaha lokal? Ataukah mereka harus menerima kenyataan pahit dan mencari cara lain untuk tetap bertahan?
Waktu akan menjawab, tetapi yang jelas, kebijakan ini sedang menjadi perdebatan besar di Morowali.**
Penulis; Ketua Bidang BPC HIPMI Morowali



