
Salehuddin, anggota KAHMI Sulteng, saat menghadapi Haul Guru Tua, Sabtu (12/4) foto pribadi
Oleh : Salihudin ( KAHMI Sulteng)
Pagi yang cerah menyambut ribuan jamaah di Kompleks Pondok Pesantren Alkhairaat Pusat, Palu, Senin 12 April 2025. Pada waktu yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari ingatan kolektif umat, peringatan haul Al-Allamah Alhabib Sayyid Idrus bin Salim Aljufri kembali digelar.
Suasana haru dan khidmat bercampur dalam semangat ziarah ilmiah dan spiritual, membentangkan napas panjang sejarah dan cita-cita peradaban yang ditanamkan oleh sosok yang dikenal dengan sebutan Guru Tua.
Di tengah lautan manusia dari berbagai penjuru tanah air—khususnya Indonesia bagian timur—berkumpul para tokoh agama, cendekiawan, pejabat pemerintahan dan legislatif dari semua tingkatan.
Mereka hadir bukan sekadar menyimak pidato atau menyambung silaturahmi, melainkan meneguhkan kembali makna keteladanan Guru Tua yang melampaui batas ruang dan waktu.
Haul ini menjadi ruang kontemplasi kolektif, menyadarkan kita bahwa warisan yang beliau tinggalkan tak hanya berupa lembaga-lembaga pendidikan, tetapi juga nilai-nilai kemanusiaan dan kebangsaan yang amat mendasar.
Saya sendiri duduk bersila di panggung utama, berdampingan dengan Prof. Dr. Zainal Abidin—seorang tokoh Alkhaerat sekaligus Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama Sulawesi Tengah.
Di tengah derasnya pidato-pidato seremonial dari berbagai pejabat, sy berdiskusi kecil dgn Prof. Diskusi kami menyentuh substansi yang lebih mendalam: bagaimana merelevansikan pemikiran dan ketokohan Guru Tua dalam lanskap zaman yang terus berubah, terutama di zaman _post truth_ serta bagaimana memperluas pengakuan lintas agama atas ketokohan beliau yang sejatinya bersifat universal.
Menurut Prof. Zainal Abidin, setidaknya ada dua hal penting yang perlu dielaborasi lebih lanjut dalam konteks kekinian. Pertama, adalah relevansi pemikiran Guru Tua dalam menghadapi tantangan zaman. Pemikiran beliau mengenai pendidikan yang menekankan keseimbangan antara ilmu agama dan ilmu dunia, pembangunan karakter melalui adab, serta pentingnya ukhuwah dalam keberagaman, kini menjadi kebutuhan mendesak di tengah masyarakat yang semakin terpolarisasi.
Di saat kurikulum pendidikan nasional kerap berubah mengikuti arah politik, model pendidikan integratif dan holistik yang diajarkan Guru Tua justru menjadi oase.
Kedua, adalah pentingnya menghadirkan testimoni otentik dari tokoh-tokoh lintas agama terhadap ketokohan Guru Tua. Pengakuan dari para pemimpin agama lain—bukan yang bersifat seremonial atau direkayasa—merupakan validasi kuat bahwa Guru Tua adalah figur inklusif yang mampu merangkul semua golongan. Ia bukan hanya milik satu mazhab, bukan pula eksklusif dalam identitas keislamannya, tetapi telah menjelma sebagai sosok pemersatu yang menghadirkan Islam dalam wajah kasih sayang dan persaudaraan semesta.
*****
Di sinilah letak pentingnya pendekatan naratif dalam menelusuri jejak Guru Tua. Keteladanan beliau tak cukup disampaikan dalam bentuk angka dan statistik—berapa sekolah yang dibangun, berapa ribu santri yang dihasilkan, atau seberapa luas jaringan Alkhairaat. Yang lebih urgen saat ini adalah menghidupkan nilai-nilai yang beliau perjuangkan ke dalam tindakan sosial dan kebijakan publik.
Dalam konteks ini, Guru Tua dapat dibaca sebagai _narrative figure_ yang membentuk imajinasi kolektif umat tentang makna pendidikan, dakwah, dan kebangsaan.
Sastrawan Emha Ainun Nadjib pernah menyatakan bahwa bangsa ini tak kekurangan intelektual, tetapi kekurangan guru. Guru yang tidak hanya mengajar, tapi mendidik dan mendewasakan.
Dalam kerangka ini, Guru Tua hadir bukan sebagai simbol nostalgia, melainkan sebagai patron moral yang terus membimbing arah perjalanan umat. Ia adalah guru bangsa dalam arti yang sesungguhnya: memadukan kecerdasan ruhani dan rasionalitas dalam membentuk peradaban.
Haul ini, pada akhirnya, bukan sekadar ritual tahunan, melainkan peringatan akan tanggung jawab historis yang kita pikul bersama. Bahwa di tengah gelombang zaman yang mengaburkan nilai, kita perlu menambatkan perahu pada pelabuhan makna yang telah dibangun oleh para tokoh seperti Guru Tua.
Warisan beliau bukan untuk dipuja, melainkan untuk dilanjutkan. Bukan untuk dikultuskan, tetapi untuk diteladani dalam praksis sosial yang nyata.
Menjelang siang, ketika cahaya matahari mulai merambat panas, saya berdiri memandang ke arah makam Sang Guru. Di sana, doa-doa mengalir tenang, dan kenangan membentuk ingatan kolektif bagi yg pernah bersentuhan dgn beliau.
Saya menyadari, bahwa Guru Tua telah tiada secara fisik, namun hidup dalam cara kita berpikir, bersikap, dan berbuat. Ia hadir dalam wajah-wajah santri yang tekun belajar, dalam pesan-pesan damai di tengah keberagaman, dan dalam keberanian untuk berdiri di atas nilai yang benar, meski tak selalu populer.
Dalam suasana itu, kita perlu memperbarui tekad kita :
mari hidupkan kembali warisan Guru Tua,dengan menjadikannya cahaya yang membimbing zaman.