Oleh : Nur Sang Adji
Seorang kolega di kampus universitas Tadulako sempat bertanya via WA group anggota senat universitas. Wadah komunikasi para cerdik pandai di Universitas ini. Kampus yang terletak di kota Palu, tempat terjadinya bencana dahsyat beberapa tahun yang lalu. Tepatnya, 28 September 2018.
Begini pertanyaannya. “Apakah berbagai bencana yg melanda negeri ini, karena ulah pemimpinnya atau ulah rakyat atau warganya yang tidak lagi menghargai pemimpinnya ? Penanya itu adalah Dr. Sultan Zainuddin. Seorang ilmuan dari ilmu sosial dan politik Universitas Tadulako. Beliau telah berpulang ke Rahmatullah beberapa saat lalu. Insya Allah almarhum memperoleh Rahmat dan ampunan. Amin yaa Rabb.
Saya pikir, pertanyaannya sangat menarik. Menggugah kita untuk berefleksi ke belakang. Sebab itu, saya menjawab pertanyaan almarhum tersebut dengan pendekatan masa silam (baca ; historis).
Sejarah peradaban menjawab sekaligus mengajarkan kita tentang kesalahan pemimpin atau rakyatnya ?. Jawaban kongkritnya, salah satu dari kedua nya, dan atau kedua-duanya. Cerita Nuh dan umatnya. Juga, Fir’aun dan Musa, bisa mewakili. Sementara, kebiasaan terburuk kita hingga kini adalah, tidak belajar dari peristiwanya (learning process). Itulah, sejarah kekuasaan dalam temali bencana.
———
John Emerich Edward, sejarawan katolik berkebangsaan Inggris, sekaligus politician dan penulis, memproduksi kalimat yang sangat terkenal. “Power tends to corrupt and absolute power, corruptions absolutely” (kekuasaan cenderung kepada korupsi dan kekuasaan yang absolut adalah korupsi yang absolut).
Luis 14 dalam sejarah Perancis, mengungkap kalimat otoritarian yang amat kesohor. “L’etat c’est mois“. Negara adalah saya. Dia jatuh oleh revolusi Perancis yang amat berpengaruh terhadap kemanusiaan dan dunia di abad berikutnya.
Sejarah malapetaka antropik maupun climasiq selalu bersumber pada dua soal ini. Otoritarian atau diktatorian dan corupsi berbungkus mafiaso. Sangat tangguh. Namun, meskipun dikemas dengan kekuatan apapun. Satu waktu, rakyat bangkit melawan.
Inilah bencana anthropik. Dia selalu terjadi di semua level kepemimpin. Biasanya melindungi diri dengan hukum yang dibikin sendiri untuk tujuan itu. Dan menyatukan dua kekuatan besar. Penguasa dan pengusaha. Tapi faktanya, hampir semua berbatas rontok.
Langit bahkan mengingatkan dengan sangat tegas yang intisari maknanya lebih kurang sebagai berikut. “Dan janganlah kamu memakan harta orang lain, membawa perkara itu ke pengadilan, lalu kamu menyuap hakimnya agar kamu bisa mengambil hak orang lain itu dengan leluasa dan zalim, padahal kamu mengetahuinya” (Q.S Al-Baqarah 188).
———-
Fira’un dan Qorun memberi contoh. Satunya penguasa dan satunya lagi, pengusaha. Lalu, contoh itu terus ditiru oleh generasi sesudahnya. Meskipun sadar bahwa kelak berakhir tragis. Dieksekusi oleh rakyatnya (folower) atau dinistakan langsung oleh penguasa langit dan bumi dalam bentuk bencana dahsyat. Tetap saja, berulang. Manusia, memang selalu lalai. Dan, lalai lagi.
Sejarahlah yang khabarkan demikian. Karena itu, tantangan terberat dari sejarah adalah berjuang melawan lupa (fight against forget). Penulis Milan Kundera dalam bukunya “The book of laughter and forgetting merites”, menulis, “the struggle of man against power is struggle of memory against forgetting”. Sedangkan, auteur Belgia, Gaetan Faucer bilang, “l’histoire se repeter ” (sejarah selalu berulang). Namun, kita sering tidak ingat. Atau, sengaja melupakannya.
Bencana Gempa, Tsunami dan Liquifaksi yang pernah bersamaan menimpa kota Palu itu, hari ini, memasuki tahun ke tiga. Entahlah, kalau kengeriannya masih menjadi pelajaran.
Untuk itu, guna membangkitkan memori orang tentang pelajaran terdahulu. Saya tunjukan sebuah taman hiburan di Perancis barat bernama Puy du Fou. Di gerbangnya, ada tulisan ini. “Preparez vous a voyager dans le temps” (bersiaplah melakukan perjalanan atau berpetualangan mengarungi zaman). Kita juga, mungkin pernah menonton Film pada tahun 80 an berjudul “The time tunnel” (lorong waktu). Semunya mengingatkan kita tentang waktu silam.
Saya sengaja menitipkan kalimat di bagian terakhir ini kepada guru saya, Prof Djuraid M.hum. Dan, dua karib saya, Dr. Lukman Nadjamudin dan Dr. Haliadi. Ketiganya, pakar sejarah di Universitas Tadulako. Awetkanlah sejarah bencana ini di memori generasi, agar mereka tetap mawas mengarungi masa depan.
———–
Begitu pentingnya ingatan itu. Maka, hari ini, 28 september 2021. Kita peringati lagi dengan cemas, sejarah gempa yang menimpa kita, tiga tahun silam. Membanggakan, karena nampak di berbagai media, cukup banyak orang yang masih ingat untuk menjadi pelajaran. Tidak segera melupakannya.
Pada saat yang relatif sama, di semester ini, pendidikan Karakter dan anti korupsi sedang di ajarkan kepada mahasiswa kita. Semogalah, mereka tumbuh menjadi manusia berwatak mulia. Berani berjuang melawan koruptor. Dan, menjadi generasi yang sadar tentang bahaya korupsi bagi bangsa. Yakni generasi Indonesia emas yang kita rindukan bersama.
Mereka generasi ini, juga sadar bahwa penyimpangan perilaku (deviant behavior) (baca : termasuk korupsi), punya korelasi erat dengan bencana. Penyebab atau akselerasi.
Untuk ini semua, mumpung masih bernapas. Mari kita berlindung dari bencana yang sengaja didatangkan Tuhan. Penyebabnya bukan cuma faktor alam semata. Tapi, juga akibat penyimpanan prilaku segelintir manusia. Segelintir saja, namun efeknya, tidak cuma menimpa mereka yang berbuat zalim. Tapi, juga mereka yang membiarkannya. Tidak penting menyoal, kita ada di mereka yang mana. Terpenting, marilah bertindak. Meminjam Ebit G Ade, mumpung kita masih diberi waktu.
Penulis; Pendidik Mata kuliah Ekologi tanaman, Kajian Lingkungan hidup serta Pendidikan Karakter dan Anti Korupsi.