Oleh : Ridwan A. Usman
Digital memang serba mempermudah kegiatan Manusia. Aktivitas bisa dilakukan secara simultan, seperti yang sedang sy nikmati malam ini. Ditengah kegembiraan dan hiruk pikuk perayaan pergantian Tahun baru masehi, sambil menikmati dentuman dan hamburan cahaya petasan di atas udara pantai losari Makassar, sesekali sy juga melanjutkan catatan kecil ini.
Bahwa pergantian Tahun, adalah tanda pergeseran waktu, setiap pergeseran itu adalah momen untuk merefleksi, adakah kita nemanfaatkan waktu itu sebaik mungkin, atau kita hanya sekedar mengikuti perputaran waktu sesuai kesenangan2 sesaat kita, atau mungkin kita berada pada titik yang fatalis.
Kualitas pemanfaatan waktu selama ini, umumnya di ukur pada pencapaian2 yang bersifat materialistik, padahal capaian2 materialistik itu adalah efek dari kesadaran manusia memanfaatkan waktunya sebaik mungkin untuk kebaikan diri, orang lain dan lingkungannya. Ketika seseorang merasa bahagia, maka Ia sedang memanfaatkan waktunya secara berkualitas. Para futuristik, berpandangan bhw tidak mungkin manusia itu merasa bahagia jika tidak bisa mengambil hati orang disekitarnya. Karena itu pesan agama, bhw sebaik baik manusia adalah yang memberi manfaat kepada Orang lain.
Setiap manusia mestinya berburu untuk memberi manfaat kepada orang lain, hasil perburuan inilah yang pada akhirnya berakumulasi pada capaian2 yang bersifat material. Berniat dan selalu berupaya memberi manfaat kepada orang lain itulah manusia religius, sebaliknya manusia yang selalu berorientasi pd akumulasi material adalah manusia sekuler.
Kapitalisme barat yang selalu dilekatkan dengan masyarakat sekuler, sebetulnya juga adalah masyarakat yang sangat spritualis pada awalnya. Ini dapat ditelusuri pada teori2 sosiologi yang diperkenalkan oleh McClelland dan Robert N Bellah. Seperti halnya, ajaran calvin yg kemudian dikenal dengan “Etika Protestanisme”.
Ajaran Calvin bahwa, Tuhan itu maha mengetahui, Manusia sudah ditakdirkan sebelum Ia lahir, apakah Ia masuk surga atau masuk neraka. Agar manusia tidak was was dan terhantui kekwatiran, maka untuk mengetahui Ia masuk surga atau tidak dilihat pada kehidupannya di Dunia. Klau manusia itu jujur, bekerja dengan penuh tanggung jawab, dapat bekerja keras dan nemberi manfaat, maka itu pertanda masuk surga. Sejak itu manusia berusaha bersikap jujur dan bekerja keras agar tidak kuatir dan berharap masuk surga. Ajaran inilah yang menyemangati masyarakat barat menjadi lebih maju dan unggul pada berbagai bidang kehidupan. Inipulalah yang menjadi cikal bakal lahirnya masyarakat kapitalis barat.
Kemajuan masyarakat barat pada awalnya, bukanlah karena orientasi berlebihan pada akumulasi kapital, seperti yang kita pahami dewasa ini. kegigihannya bekerja keras, berprilaku jujur, dan memanfaatkan aset2 yang dimilikinya menjadi maksimal dan lebih produktif karena orientasi spritual. Semangat inilah lalu menjadi kebiasaan dan kultur barat. Sayang kebiasaan baik yg terinspirasi dari nilai spritual, berubah menjadi candu untuk berburuh harta berlebihan.
Masyarakat kita juga adalah awalnya masyarakat yang sangat religius, lalu beberapa dekade ini berubah menjadi seolah olah masyarakat bar barian, karena ulah sekelompok manusia yang terlalu berburu harta dan kekuasan. Penghormatan terlalu dinobatkan secara berlebihan kepada orang yang menguasai harta dan kekuasaan. Bukan pada orang2 yang bersikap jujur, amanah dan berilmu pengetahuan.
Pergantian Tahun dapat dimaknai sebagai transmisi untuk memperbaharui niat dan harapan kita, bahwa sebaik baik manusia adalah yang bermanfaat kepada manusia lainnya. Manusia2 yang belum beruntung atas kenikmatan harta maupun kekuasaan, tetaplah berbuat dan menggunakan waktu agar bermanfaat kepada orang lain, karena itulah sebaik baik manusia. Pun demikian, kepada manusia yang mendapat keberuntungan harta maupun kekuasaan jangan sampai menjadi candu. Sejarah peradaban manusia melukiskan bahwa candu terkadang mengalahkan kecerdasan manusia, sampai Ia berbuat di luar nalarnya sendiri.
Kita semua berharap ada sebagian diantara kita yang memiliki harta berlebih, tetapi juga berahlak mulia sehingga dapat berempati kepada orang2 yang berkekurangan. Pun demikian, sebagian diantara kita yang berkuasa dapat menjadi penguat bagi orang2 lemah. “Empati bukan hanya masalah mencoba membayangkan apa yang orang lain alami, tetapi ada kemauan, keberanian, dan kemanpuan yg cukup untuk melakukan sesuatu agar nestapa orang lain terpulihkan. Karena itu, orang yang bernasib baik dengan kelebihan harta maupun kekuasaan senantiasa menjaga niat agar harapan-harapan koletivitas tetap terbaharui.**
Penulis Ketua Umum HMI Cabang Palu 2004 – 2006