__SEJUMLAH putusan MK telah berkembang menjadi rujukan dan bahkan menjadi Jurisprudensi karena di dalamnya terkandung temuan hukum yg melahirkan prinsip-prinsip hukum baru dalam Hukum Pemilu, termasuk mengenai putusan diskualifikasi terhadap pasangan calon peraih suara terbanyak__
Oleh: Frans Manurung
Realita dianulirnya kemenangan pasangan calon pada pemilihan kepala daerah dengan mendiskualifikasi pasangan calon pemenang pemilihan, bukanlah hal baru. Untuk pertama kali MK mendiskualifikasi pasangan calon Pilbub Bengkulu Selatan pada tahun 2008 ketika pasangan calon telah memenangkan kontestasi pemilihan dengan memperoleh suara terbanyak.
Dalam putusan MK Nomor 57/PHPU.VI/2008, pasangan calon, khususnya H.Dirwan Mahmud dinilai telah melanggar asas Pemilu yaitu “JUJUR” yg harus dijunjung tinggi bukan saja oleh penyelenggara, tetapi juga oleh peserta Pemilu. Pelanggaran ini mengakibatkan pelaksanaan Pemilukada di Kab. Bengkulu Selatan telah “cacat juridis” sejak awal. Lalu, MK memerintahkan Pemilukada Kab..Bengkulu Selatan secara keseluruhan harus diulang dgn menyertakan semua calon, selain H.Dirwan Mahmud.
Perdebatan pun berlangsung, ada yang pro dan ada yang kontra.
Namun, sikap MK konsisten. Putusan diskualifikasi masih terus dijatuhkan ketika mengadili hasil Pilkada hingga pada tahun 2020 yang lalu a.l kasus Pilbup Kab.Yalimo.
Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi (MK) memerintahkan Termohon Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk melaksanakan pemungutan suara ulang (PSU) dalam Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Yalimo Tahun 2020. PSU ini dilaksanakan karena MK memutuskan mendiskualifikasi Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Yalimo Nomor Urut 1 Erdi Dabi dan John Wilil.
Mahkamah mengambil sikap bahwa pada saat kesalahan atau kelalaian yg terjadi menjadi sesuatu yang tidak dapat ditolerir (intolerable condition), seperti misalnya soal tidak terpenuhinya keabsahan calon, MK tidak akan berdiam diri dan tidak akan membiarkan keadaan menuju pada tidak tercapainya konsolidasi demokrasi yg sedang berjalan.
Posisi MK sebagai penafsir konstitusi (interpreter of constitution) dan pengawal demokrasi (the guardian of democracy) selain mempunyai wewenang yang luas untuk melakukan rechtsvinding (penemuan hukum). Juga secara historis memang mempunyai kewenangan untuk memperluas kewenangannya mengadili perkara diluar kewenangannya (ultra vires), bahkan mengabulkan apa yg tidak diminta oleh Pemohon.
Lantas, kenapa masih terus nyinyir terhadap permohonan diskualifikasi ?