
spanduk bertuliskan, warga menolak aktivitas PT ANA di area kebun sawit di Kabupaten Morut-Sulteng. foto IST
PALU – trustsulteng.com – Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulteng terus memantau sejumlah perusahaan sawit yang beroperasi di Sulteng. Salah satunya PT Agro Nusantara Abadi (ANA) yang sudah puluhan tahun berproduksi di Kabupaten Morowali Utara (Morut). Perusahan tersebut diduga telah merugikan negara ratusan miliar karena tidak membayar kewajibannya.
Kejaksaan mendasari nya karena PT ANA diduga tidak mengantongi izin Hak Guna Usaha (HGU). Berdasarkan ketentuan pasal 12 ayat (1) huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah (“PP 40/1996”) bahwa Pemegang HGU berkewajiban untuk membayar uang pemasukan kepada Negara.
Adalah Biaya Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNPB) yang wajib dibayarkan ke negara oleh pengelola HGU itu yang besarannya mencapai Rp 26.500 per 100 hektar @ 7.200 hektar x 26.500 = 190.800.000 x 17 tahun = Rp. 3.243.600.000.
Pernyataan ini disampaikan Kajati Sulteng, Agus Salim SH. MH, di moment ulang tahun kejaksaan beberapa waktu lalu.
Aslan Rembagau, salah satu aktivis turut menyoroti aktivitas PT ANA selama ini. Dia menilai PT ANA masih mengantongi izin lokasi (inlok), sehingga tidak membayar pajak ke negara. PT ANA bisa membayar PNPB jika mengantongi HGU. Sangat miris, perusahaan mengelola lahan 7.200 hektar tidak punya HGU.
Dalam Keputusan Presiden, ditentukan bahwa pertama; Luas minimum tanah yang dapat diberikan Hak Guna Usaha adalah lima hektar. Kedua; Luas maksimum tanah yang dapat diberikan Hak Guna Usaha kepada perorangan adalah dua puluh lima hektar.
Sedangkan PT.ANA 7.200 hektar lahan kebun sawit yang dikelolanya dengan hanya menggunakanan Inlok yang sudah kadaluarsa. Sebab Inlok berlaku hanya 4 tahun.
Aslan menjelaskan bahwa hak guna-usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam pasal 29, guna perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan.
Berdasarkan pada Pasal 12 ayat (1) huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah (“PP 40/1996”) bahwa Pemegang HGU berkewajiban untuk membayar uang pemasukan kepada Negara.
Uang pemasukan yang berasal dari pemberian sesuatu hak atas tanah (HGU) merupakan sumber penerimaan negara yang harus disetor melalui kas Negara.
Penerimaan Negara dalam definisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (“UU 17/2003”) adalah uang yang masuk ke kas Negara.
Pendapatan Negara terdiri dari penerimaan pajak (termasuk pungutan bea masuk dan cukai), penerimaan bukan pajak, dan hibah.
Penegasan akan kewajiban untuk membayar pajak dengan status hak atas tanah ini ada di dalam Pasal 12 PP 40/1996 bahwa pemegang HGU berkewajiban untuk membayar uang pemasukan kepada Negara.
Karena PT.ANA diduga tidak membayar kewajibannya ke negara, maka Kejaksaan tinggi sulawesi tengah (Kejati sulteng) sedang menggarap dugaan pelanggarannya.
Saat ini Kejati sulteng melakulan pengumpulan data atau penyelidikan terkait sejumlah perusahaan kelapa sawit yang tidak membayar kewajibannya ke negara, sebab tidak memiliki HGU, termasuk PT.ANA.
Kajati Sulteng, Agus Salim, menegaskan salah satu atensinya adalah perusahaan perkebunan kelapa sawit tanpa HGU, salah satunya PT.ANA.
Gubernur sulteng H.Rusdy Mastura dalam laporannya ke Menteri ATR/BPN beberapa waktu lalu mengatakan sekitar 43 perusahaan kelapa sawit yang tersebar di beberapa kabupaten di sulteng tidak memiliki hgu. Sehingga merugikan negara/daerah sekitar Rp, 400 miliyar pertahun.**
YLB